Mahkota Bunga

By Nayla Nuha - Januari 01, 2014

"Hey, lihat! Bukankah ini bagus?"
Aku meliriknya malu-malu, masih gengsi untuk menjadi biasa lagi. Lagipula kenapa sih dia pake jahilin aku sampe memalukan begitu? Aku tahu kok dia pasti bercanda. Tapi tetap saja... aku malu.
"..Ini cocok untukmu dipakai kalau tiba hari pernikahanmu," Dia berjalan ke arahku, sambil membawa rangkain bunga yang entah kenapa dia bisa membuatnya begitu indah. Aku malah berlari, pergi dengan diam.
"Aku mau pulang!" Pasti dia pikir aku tidak memafkannya. ah, biarin


***


Senja di langit sore tidak pernah bisa membuatku pergi. Sudah berapa tahun? aku sudah tidak lagi mengingatnya begitu lama. Rasanya kamu selalu dekat, sedekat senja pada burung-burung dan sedekat senja pada malam.

Hari ini ibu memarahiku lagi. Selalu seperti itu, menyebut namamu seperti membencimu. Ingin membuang satu-satunya yang kupunya darimu. Mahkota rangkaian bunga, yang pernah kau buatkan untukku ketika aku tidak ingin melihatmu lagi. Bagimu aku selalu cantik bukan? Ya. Aku kecil, hanya ketika kita masih bisa bermain di bukit setiap sore.

Ibu bilang mahkota bunga itu sudah kering, sudah tidak enak lagi baunya. Baunya bisa membuat barang-barang di lemariku seperti harum bukit yang sudah habis terbakar. Membakar taman kita dan rumah-rumah kita. Ibu sangat membencinya, aku percaya ibu hanya membenci bukit kita, bukan kamu.

"Kamu ingin menikah dengan orang seperti apa?" Iseng aku bertanya ketika kamu mengumpulkan bunga untuk dibawa pulang agar nenek memasangkan di vas kesangannya.
Kamu tersenyum lalu berkata, "Kalau kamu terus ada disampingku, aku harus memilih orang seperti apa lagi?"
Aku terhentak, ingin tertawa
"Itu kan yang suka dikatakan Om Pad ke Tante Ter.."
"Hahaha.. aku mau.. seperti Key aja" kamu menoleh lalu mengumpulkan lagi bunga.
Aku terdiam dan tertawa mencibir, "Huuu"

Tapi itu obrolan masa kecil. Tidak ada lagi ketika aku melihatmu pergi dengan mobil barumu, meninggalkan bukit. Kamu yang tidak pernah tahu, aku mendambakan sesuatu yang lebih selain senja dan persahabatan kita.

Seandainya bukit itu masih ada. Pasti ada sedikit kenanganmu yang tertinggal. Bukan tentang laut yang ombaknya sering bergemuruh menyiksa batinku. Dulu kita tidak pernah tahu laut itu seperti apa. Laut itu bisa membuat senja terpandang sempurna, kau pasti suka, karena kita benar bisa membuat siluet tawa kita. Ah, aku hanya berandai.

Apa kabarmu? Itu adalah pertanyaanku ketika seminggu kamu sudah pergi. Kamu berpamitan singkat sekali. Mungkin karena usia kita sudah tidak lagi segamang anak kecil yang tahunya hanya berlarian mengumpulkan bunga untuk nenek. Bahkan setelah nenek meninggalkan kita, kita tidak pernah lagi bahagia memetik bunga. Apakah nenek yang membuat kita berdua hidup di bukit? Mungkin iya, atau mungkin tidak.

"Namaku Lama.." kamu  menyodorkan tanganmu, bicaramu tidak sempurna. Lucu, nama sendiri tidak bisa mengucapkannya dengan benar.
"Rama? kamu tidak bisa bilang 'r' ya?" kita berkenalan, dan kalimat pertamaku malah mengejeknya. haha
Tapi kamu malah mengangguk sambil nyengir. Manis sekali, "Kamu siapa?"
"Aku Kinan, panggil aku Key" 


-bersambung

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar