Hey apa kabar?
Apa kamu masih disana? Ya. aku melihatmu diatas balkon, malam hari. Lucu ya, seperti adegan di film atau cerita fiksi, duduk di balkon sambil menggoyang-goyangkan kaki, mengadahkan kepala dan memandang takjub bintang-bintang. Walapun di belahan langit kita, hanya ada satu gugus bintang yang terlihat dan begitu sederhana.
Sejak dulu aku gemar membada dan paling mahir membaca diantara saudara-saudaraku. Aku juga gemar menggambar, berharap suatu saat aku bisa melukiskan banyak bintang untukmu. Biar kamu semakin takjub. Terlebih lagi Tuhan lebih baik terhadapku, karena aku lebih dulu melihat hamparan bintang ketimbang kamu
#hey, apa kabar?
Bertahun-tahun tak bosankah? Tetap duduk disana; padahal sudah jauh dan begitu lama aku tidak menengokmu. Mungkin waktu itu aku terpaksa harus menguncimu. Balkon, langitmu dan dirimu. Harusnya aku tahu kamu akan kesepian. Tapi bisikmu terlalu kecil memanggilku. Maaf...
dan ketika sekarang, saat aku ingat sudutmu -langit malam, aku belum bisa membawa lukisan hamparan bintang untukmu. Kamu pasti tahu betul aku terjatuh; lalu membuang semua harapan itu. Berubah sepuitis malam untuk beratus-ratus kata yang baru akhir-akhir ini kubumbui arti. Juga untuk cerita-cerita yang akhirnya harus kubawa jauh untuk menegurmu; anggap saja ini oleh-oleh yang dibawakan orang tak berguna macam aku.
Hey,
seperti biasa, kamu memang tidak pernah menjawab, dan aku harus sempurna mencipta senyum paling simetris. Lalu kita tertawa. Kemudian duduk berdampingan dan mulai bercerita. Kamu mendengarkan dan aku berceloteh; kamulah akhirnya satu-satunya yang rela uajak tertawa, sesekali sambil menyeka air mata. Untuk janji-janji yang tidak pernah kutepati dari harapan-harapan yang pernah kita buat dan kucatat disetiap buku catatanku -kau tahu kan aku suka sekali membelinya? Haha
Hey,
kaupun satu-satunya yang tahu persis apa yang kuderita. Juga tahu jawaban-jawaban yang sering kutanyakan. Ada gangguan diotakku; kau mewanti-wantinya begitu. Tapi kamu tidak pernah bilang aku tidak waras. Hanya saja, ketika pikiranku terganggu aku akan merasakan sakit yang luar biasa. Juga ketika jadwal makanku yang mendadak kacau. Kamu selalu menegurku, sampai aku benar-benar jatuh dan tidak lagi menyapamu. Kerap kali sesak menyiksaku,
'Jatuhkan saja...' kamu berbisik pelan ditelingaku, merambat lewat sel-sel otakku, masuk ke pernapasanku dan membuatku sesak. Tapi aku masih berusaha mencipta senyum simetris dimatamu.. Sudah tidak boleh ada yang jatuh...
Hey, apa kabar?
Kita sudah dewasa rupanya, dan kamu tetap seperti ini; memberikan pilihan dan duduk di balkon. Aku membawakan mawar merah berwarna 'peach' agar suatu saat ada matahari yang tercipta untuk kita -sambil menunggu aku selesai melukis hamparan untuk kau pandang takjub. dan mungkin nanti kau akan mengucapkan sepatah kata padaku. Semoga saja kau bilang : Semua akan benar-benar baik-baik saja, dan kamu akan terus ada. Disini, ketika aku mengetuknya untuk bercerita; karena kita bersenyawa.
Hey, apakah kamu butuh nama untuk kupanggil?
Apa kamu masih disana? Ya. aku melihatmu diatas balkon, malam hari. Lucu ya, seperti adegan di film atau cerita fiksi, duduk di balkon sambil menggoyang-goyangkan kaki, mengadahkan kepala dan memandang takjub bintang-bintang. Walapun di belahan langit kita, hanya ada satu gugus bintang yang terlihat dan begitu sederhana.
Sejak dulu aku gemar membada dan paling mahir membaca diantara saudara-saudaraku. Aku juga gemar menggambar, berharap suatu saat aku bisa melukiskan banyak bintang untukmu. Biar kamu semakin takjub. Terlebih lagi Tuhan lebih baik terhadapku, karena aku lebih dulu melihat hamparan bintang ketimbang kamu
#hey, apa kabar?
Bertahun-tahun tak bosankah? Tetap duduk disana; padahal sudah jauh dan begitu lama aku tidak menengokmu. Mungkin waktu itu aku terpaksa harus menguncimu. Balkon, langitmu dan dirimu. Harusnya aku tahu kamu akan kesepian. Tapi bisikmu terlalu kecil memanggilku. Maaf...
dan ketika sekarang, saat aku ingat sudutmu -langit malam, aku belum bisa membawa lukisan hamparan bintang untukmu. Kamu pasti tahu betul aku terjatuh; lalu membuang semua harapan itu. Berubah sepuitis malam untuk beratus-ratus kata yang baru akhir-akhir ini kubumbui arti. Juga untuk cerita-cerita yang akhirnya harus kubawa jauh untuk menegurmu; anggap saja ini oleh-oleh yang dibawakan orang tak berguna macam aku.
Hey,
seperti biasa, kamu memang tidak pernah menjawab, dan aku harus sempurna mencipta senyum paling simetris. Lalu kita tertawa. Kemudian duduk berdampingan dan mulai bercerita. Kamu mendengarkan dan aku berceloteh; kamulah akhirnya satu-satunya yang rela uajak tertawa, sesekali sambil menyeka air mata. Untuk janji-janji yang tidak pernah kutepati dari harapan-harapan yang pernah kita buat dan kucatat disetiap buku catatanku -kau tahu kan aku suka sekali membelinya? Haha
Hey,
kaupun satu-satunya yang tahu persis apa yang kuderita. Juga tahu jawaban-jawaban yang sering kutanyakan. Ada gangguan diotakku; kau mewanti-wantinya begitu. Tapi kamu tidak pernah bilang aku tidak waras. Hanya saja, ketika pikiranku terganggu aku akan merasakan sakit yang luar biasa. Juga ketika jadwal makanku yang mendadak kacau. Kamu selalu menegurku, sampai aku benar-benar jatuh dan tidak lagi menyapamu. Kerap kali sesak menyiksaku,
'Jatuhkan saja...' kamu berbisik pelan ditelingaku, merambat lewat sel-sel otakku, masuk ke pernapasanku dan membuatku sesak. Tapi aku masih berusaha mencipta senyum simetris dimatamu.. Sudah tidak boleh ada yang jatuh...
Hey, apa kabar?
Kita sudah dewasa rupanya, dan kamu tetap seperti ini; memberikan pilihan dan duduk di balkon. Aku membawakan mawar merah berwarna 'peach' agar suatu saat ada matahari yang tercipta untuk kita -sambil menunggu aku selesai melukis hamparan untuk kau pandang takjub. dan mungkin nanti kau akan mengucapkan sepatah kata padaku. Semoga saja kau bilang : Semua akan benar-benar baik-baik saja, dan kamu akan terus ada. Disini, ketika aku mengetuknya untuk bercerita; karena kita bersenyawa.
Hey, apakah kamu butuh nama untuk kupanggil?
0 komentar