Petir
menggelegar menyambut malam. Angin bertiup kencang, membuat irama dari kabel
lampu yang tergantung diluar. Sera merapatkan tubuhnya dalam selimut. Mungkin
bisa membuatnya sediit tenang, menepis perasaan-perasaan yang sejak sore tadi
menganggunya. Ia sesekali melirik ke luar jendela. Hujan semakin deras, dan
malam semakin larut.
“Semoga Bapa
tidak apa-apa, semoga tidak ada badai ditengah laut,” Ia merapal doa itu,
merapatkan tubuhnya, sampai ia terlelap.
***
Sera bersegera
mengambil ember-ember. Hatinya belum bisa diajak berdamai. Ada rasa khawatir
yang lebih besar dari rasa khawatirnya setiap pagi. Ia selalu mengharapkan
sinar pagi mempertemukan ia dan Ayahnya kembali. Setiap pagi, setiap hari.
Pesisir pantai
sudah ramai. Langit tampak lebih cerah. Ia tidak langsung menuju tempat
penimbangan ikan. Ia mencari ayahnya kesana kemari. Melompat diantara kerumunan
orang yang ramainya melebihi hari-hari biasanya. Ia mencari topi ayahnya. Ah,
barangkali Ayahnya melepas topinya. Tapi tidak ada.
Ia melihat
perahu-perahu yang baru ditepikan. Tidak ada perahu berwarna biru dengan
tulisan ‘SR’.
Akhirnya ia
memberanikan diri bertanya pada nelayan lain.
“Tadi malam ada
badai, kami berpisah ditengah laut,”
“Mungkin Bapamu
akan datang siang hari, mungkin tersesat,”
Sera meyakinkan
diri. Ayahnya pasti kembali. Ya, pasti kembali untuk menemaninya. Ia akan
menunggu Ayahnya sampai siang hari, sampai ayahnya datang.
Siang hari,
pesisir pantai tidak ramai. Sera masih menunggu Ayahnya. Tidak ada perahu
kembali, dan tidak ada Nelayan yang mencari.
“Ra, sedang apa
siang-siang begini. Panas banget,” Tio membuyarkan lamunanannya. Sera tidak
tersenyum menyambutnya seperti biasa.
“Menunggu Bapa
Yo,”
“Bapamu belum
pulang?”
Sera
menggeleng. Ia diam.Ia tidak harus bercerita apa-apa pada Tio. Raut mukanya
jelas menunjukkan ia begitu resah. Takut.
Pada akhirnya
Tio menemaninya hingga petang. Sampai senja menyambut Tio. Tio membawa sebuah
kamera. Membuat Sera sedikit terhibur, menemukan barang baru yang sering ia
lihat di buku-buku pelajaran teman-temannya.
Sebuah lensa
yang mampu membuat gambaran dirinya. Ah, kalau saja Ayahnya ada sekarang
disini. Seperti foto yang ia temukan dalam bingkai foto. Ia ingin mengenang
dirinya dan Ayahnya dalam jepretan kamera Tio.
***
Sera menuangkan
minumannya dengan pelan. Ia tahu, Ayahnya mungkin tidak akan kembali. Ia
menangis semalaman, membuat rasa takutnya sedikit berkurang. Cangkirnya
berdenting dengan sendok. Minuman kesukaannya, kesukaan Ayahnya juga. Tapi
buatan Ayahnya lebih enak dari buatan siapapun.
Sera dikagetkan
dengan kedatangan Tio ke rumahnya. Tio rasa Sera butuh teman.
“Kenapa kamu mau datang?” Pertanyaan Sera seperti kosong. Ia tidak
bisa bersikap seperti biasa. Semenjak Ayahnya pergi, tanpa kabar.
“Aku sedang ada waktu luang, bukannya kita teman? Aku tidak mau kau
seperti ini terus Sera,” ya, jawaban Tio hanya sesederhana itu. Sera tidak lagi
bisa menganggap dirinya baik-baik saja. Nyatanya, ia membutuhkan teman untuk
sekedar membantunya.
Mereka duduk-duduk diatas pasir disiang hari. Seperti biasa, Tio
mengenakan topi. Tio tidak terbiasa berpanas-panas dibawah terik matahari
Pantai Sulawesi.
“Kamu pernah bertemu dengan seorang tuna
netra?”
“Tuna netra?”
“Hm, orang yang
tidak bisa melihat. Buta”
“… oh. Belum.
Kenapa?”
“Ada yang ingin
kupertemukan. Seseorang, dengan kamu.”
“Kenapa?” Sera
hanya bisa bertanya itu. Sera bingung. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia
tanpa Ayahnya seperti lautan kehilangan pasirnya.
“..Kamu mau ya
ikut saya? Barang sehari saja, sekali saja meninggalkan pesisir,”
Tio
satu-satunya temannya sekarang. Tio yang selalu menemani Sera semenjak Ayahnya
tidak pernah kembali. Tio yang memadamkan kebencian Sera terhadap Ayahnya. Kali
ini Tio meminta satu hal padanya. Ia harusnya tidak meolak lagi. Hitung-hitung
balas budi. Membuat Tio senang.
“Oke, aku akan
ikut ke Kota,” Sera menjawab ragu-ragu. Tapi kemudian tersenyum.
Tio berbisik
pelan, mungkin sedang bergembira mengatakan kalimat andalannya “yess”
***
Seusai subuh,
selepas Sera meyakinkan dirinya sekali lagi untuk meninggalkan pesisirnya.
Melupakan kepergian Ayahnya, dan melupakan kenagan rumahnya. Ia mantap
melangkahkan kaki meninggalkan Lautan yang ia cintai. Ia menyimpannya.
Suara-suara ombak, butir-butir pasir dan perahunya.
Ia tidak bisa
menjamin dirinya sendiri akan kembali lagi kesini. Berdamai dengan ketidakadilan
yang selama ini ia rangkum dalam kesedihan yang berkepanjangan.
Sepanjang
perjalanan Tio bercerita tentang dirinya. Tio akhirnya berani memberitahukan
siapa Tio sebenarnya. Perihal Tio yang menginginkan dirinya berada jauh di
Pantai Sulawesi. Tio yang mencaritahu sendiri keberadaan Sera, dan Tio yang
selama ini kagum dengan Sera.
“Kau gadis yang
kuat, gadis yang baik …”
Sera tidak
banyak bicara. Baginya yang terpenting adalah mengetahui siapa seseorang yang
ingin Tio pertemukan dengan dirinya.
“Tio, sebenarnya
siapa yang mau kau pertemukan?” suara lantang Sera menggema dalam mobil kecil
itu, mobil yang membawa mereka menuju bandara. Perjalanan akan sangat jauh,
tapi sampai hanya dalam hitungan jam.
“Surprised!
Kalau kuberitahu sekarang tidak jadi kejutan Ra,”
Mereka berdua
sudah terlalu akrab. Bahkan Sera banyak belajar dari Tio. Lelaki blasteran yang
akhirnya mewarnai hari-harinya setelah Ayahnya tak kembali.
“Ra, boleh
kutanya sesuatu?”
Sera menoleh,
sambil mengangguk. Memasang wajah penasaran. Siapa tahu Tio berubah pikiran dan
memberitahu siapa seseorang nun jauh disana.
“Menurutmu,
Mamakmu itu seperti apa?”
Sera diam.
Sudah lama juga tidak pernah memikirkan Ibunya. Baginya setelah Ayahnya pergi,
ia sempurna tidak punya siapa-siapa lagi.
“Aku tidak
tahu, mungkin aku membenci Mamak. Dia yang meninggalkan aku kan, ah lupakan..
aku tidak pernah berharap akan bertemu Mamak,”
Tio hanya
mengangguk. Tidak lagi ingin bertanya, “Oke, saya Cuma bertanya Ra,”
Rupanya Sera
tertidur selama perjalanan. Setibanya ia di bandara, ia dikejutkan dengan lalu
lalang orang, cuaca yang membuatnya sesak. Layaknya orang kampung ke Kota.
Setelah Sera sederhana sekali, tidak terlihat seperti orang kaya atau orang
yang biasa-biasa saja menurut orang-orang Kota ini.
“Tenang Ra, ini
Cuma bandara. Selebihnya kita akan hirup udara sejuk lagi. Ini bukan Kota,” Tio
tertawa geli melihat tingkah laku Sera.
Sampailah
mereka di sebuah rumah dengan pagar unik dan papan bertuliskan kalimat bahasa
Inggris. Sera masih susah membacanya. Yang dilakukannya sekarang hanya menurut
pada Tio, melangkah serupa langkah kaki Tio kemana pun Tio berada.
Mereka duduk di
ruang tamu. Tepatnya lobi kunjungan. Akhirnya Sera mengetahui tempat apa
ini. Semacam yayasan yang menampung
orang-orang cacat berkebutuhan khusus.
“Yo, Orang yang
ingin kau pertemukan ada disini? Di yayasan ini?” Sera memperhatan sekilas. Ada
perasaan yang lain ketika ia masuk ke dalam ruangan ini. Ia gugup. Ia takut
bertemu orang baru, di lingkungan baru. Tanpa Ayahnya.
“Ra, aku ingin
bertanya sekali lagi padamu, perihal Mamakmu,”
Sera diam. Ia
menerka-nerka. Tidak mungkin seorang Tio. Seseorang yang datang tiba-tiba
dihidupnya, menyaksikan bagaimana kesedihannya ditinggal Ayahnya, kemudian
membawanya pergi meninggalkan pantainya, ternyata ingin mempertemukannya dengan
Ibunya. Ibu yang tidak pernah dikenalnya. Seorang wanita yang akhirnya harus
dipanggilnya dengan sebutan ‘Mamak.
Tio membawanya
pada sebuah ruangan. Ruangan yang cantik, berisi bunga-bunga. Ada hal lain
didalamnya, sebuah lukisan kerang dan hamparan lautan. Ah, lagi-lagi Sera ingin
kembali, berteman dengan lautan.
“Wanita diujung
sana, yang sedang menghadap jendela menikmati angin. Apakah kamu mengenalnya?”
Tanya Tio.
Sera melihatnya
dari kejauhan. Wanita dengan rambut terurai. Rapi dan terawat dengan sebuah
kursi roda, menatap kosong ke arah jendela. Tapi, Sera menggeleng. Dia tidak
pernah tahu rupa ibunya, kecuali dalam foto itu. Sera mengingat-ingatnya, tapi
tidak ingat betul.
Ia mendekat,
ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Wanita itu buta. Ia tidak sedang
memandang keluar jendela. Hanya angin
yang dirasakannya. Ketika Sera ingin beranjak, ada yang menyentuh lembut
tangannya.
“Kaukah itu?”
wanita itu berujar lembut.
Apakah ibunya
akan berkata selembut ini? Mungkin tidak. Atau mungkin ibunya bukan orang asli
pesisir Sulawesi?
Sera tiba-tiba
menangis, ia tidak bisa pergi. Ia menoleh pelan, ingin bertanya siapa wanita
yang menarik tangannya.
“Bau lautan,
kamu pasti …”
Sera jatuh,
menangis, Sera tidak tahu kenapa ia harus menangis dihadapan wanita ini.
Satu-satunya orang yang berkata tentang Lautan yang ingin ditinggalkannya.
Wanita itu
mengeluarkan beberapa amlop dari bajunya. Lusuh, sepertinya sudah disimpan amat
sangat lama. Sera membukanya., membaca semuanya. Surat-surat yang ditujukan
wanita itu untuk ayahnya. Jelas disana tertulis alamat rumahnya. Tapi tidak
pernah sampai.
“Rupanya kamu
sudah besar ya... Bapa datang juga?”
Sera
menggeleng, “Tidak mak, Bapa tidak perlu datang…” Akhirnya ia bisa mengucap
kalimat itu dengan jelas. Wanita dihadapannya benar adalah Ibunya.
Seharian itu
dihabiskan Sera untuk bercerita. Mendengar banyak cerita dari wanita ini.
Seorang perempuan Jawa dan lelaki Sulawesi, menikah di tanggal yang mereka
tentukan sendiri namun berakibat buruk bagi orangtua lelaki Sulawesi.
Mereka
dipertemukan diatas perahu setelah insiden tenggelamnya perahu yang ditumpangi
Ibunya berjalan-jalan. Ibunya adalah salah satu yang ditugaskan untuk meneliti
daerah Sulawesi. Waktu itu pesisir Sulawesi masih jarang didatangi orang.
Setelah
perkenalan singkat, obrolan yang membuat lautan membubuhkan perasaan dihati
masing-masing, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Jarak yang jauh
membuat Ibunya harus memilih untuk tetap di pesisir pantai Sulawesi atau ikut
pulang kerumahnya.
Pernikahan
mereka berjalan lancer. Semua pihak menyetujui keputusannya. Saling menerima.
Mereka hidup bahagia disebuah rumah sederhana yang Ayah Sera bangun.
Banyak waktu
yang dihabiskan setelah pernikahannya untuk kembali meneliti. Ketika berita
kehamilannya, semua sanak saudaranya berbahagia. Ibunya menghabiskan setiap
waktu untuk meneliti disekitaran pantai dan menikmati deburan ombak ketika
menunggui Ayahnya pulang.
Malam itu,
tepat ketika waktu kelahiran sudah diperhitungkannya. Berkat bantuan seorang
ibu di kampung itu, waktu malam sedang ada hujan lebat, dan Ayahnya sedang
pergi melaut. Bayi kecil itu lahir, menangis dengan suara yang lantang.
Pagi menjelang,
saat kabar terindah itu merebak di daerah Pesisir. Ayahnya berlari turun dari
perahu menuju rumahnya. Bayi yang ditunggu-tunggunya, sebagai pelengkap
cintanya. Sesampainya dirumah, ia mendapati seorang Ibu duduk sambil
menggendong anaknya. Bayi yang lucu menyambutnya. Tapi, tak ia temukan
istrinya. Ya, istrinya berpesan sedang pulang kerumahnya, ada hal yang harus
diurus.
Berbulan-bulan
Ayahnya menunggui istrinya pulang. Ingin menulis surat? Pada siapa harus
mengirim. Pada akhirnya harapannya pupus. Sera besar bersamanya. Cukup
bersamanya.
“Kenapa Mamak
tidak kembali?”
“Wanita jawa
dengan Lelaki Sulawesi tidak bisa bersatu Ra,”
Sejujurnya
bukan itu. Bukan karena wanita Jawa dan lelaki Sulawesi. Bukan hanya itu.
Bertahun-tahun pernikahan mereka ternyata punya masalah lain ditempat ini.
Tempat dimana ibunya berasal. Keluarga yang akhirnya membuatnya pulang untuk
selama-lamanya. Lalu, kecelakaan ketika Ibunya nekat ingin kembali, sekedar
menemui anaknya. Ia jadi buta.
“Mamak tidak
bisa kembali kesana, Mamak pasti tidak bisa membantu Bapa,” ya… pada hari itu,
semua yang membuat Sera bertanya-tanya. Dugaan Sera tentang kebencian Ayahnya
terhadap Ibunya. Sebab Ayahnya tidak pernah mencari ibunya dan kenapa Ayahnya
tidak mau Sera bertanya tentang ibunya.
Sera ingat
membawa selembar foto Ayah dan Ibunya. Ia ingin memberikan foto satu-satunya
yang pernah Ayahnya simpan dirumahnya.
Ada sebuah
kalimat kecil dibalik foto itu. Samar, tapi Sera bisa membacanya.
Lautan, dan kau
Pasirnya
Sebentuk
kalimat cinta sederhana. Sesederhana ia mencintai Lautan, tempatnya berasal.
Sedalam cintanya pada Ayahnya. Semurni cinta Ayahnya yang samar karena
kehilangan orang yang dicintainya.
“Jadi, Bapa dan
Mamak tidak saling membenci..” Sera memeluk Ibunya. Ia merasakan akan
kehangatan lain merengkuhnya. Menyatukan seorang ibu dan Anaknya.
Sera ingat Tio.
Seharian ini ia langsung meninggalkannya.
“Kamu mencari
Tio?”
Ah Ibunya yang
tidak bisa melihat merasakan langkah-langkah Sera.
“Ia mungkin
sedang main-main dengan anak-anak diluar sana. Jangan lupa berterimakasih
padanya, tapi.. jangan berharap lebih..” Sera mengangguk sambil berbisik.
Sera ingin
segera mencari Tio. Selain ia harus berterimakasih, ada banyak hal yang ingin
ia tanyakan lagi pada Tio. Ia melihat senyuman Ayahnya dalam senyum Tio ketika
melepaskannya bertemu Ibunya.
Sera ingin
kembali secepatnya kerumahnya. Sekali ini saja. Sebelum ia benar-benar
memutuskan untuk memani Ibunya disini. Biar membawakan secangkir lautan untuk
Ibunya.
0 komentar