Secangkir Lautan #3

By Nayla Nuha - Juli 13, 2014



Petir menggelegar menyambut malam. Angin bertiup kencang, membuat irama dari kabel lampu yang tergantung diluar. Sera merapatkan tubuhnya dalam selimut. Mungkin bisa membuatnya sediit tenang, menepis perasaan-perasaan yang sejak sore tadi menganggunya. Ia sesekali melirik ke luar jendela. Hujan semakin deras, dan malam semakin larut.
“Semoga Bapa tidak apa-apa, semoga tidak ada badai ditengah laut,” Ia merapal doa itu, merapatkan tubuhnya, sampai ia terlelap.
***
Sera bersegera mengambil ember-ember. Hatinya belum bisa diajak berdamai. Ada rasa khawatir yang lebih besar dari rasa khawatirnya setiap pagi. Ia selalu mengharapkan sinar pagi mempertemukan ia dan Ayahnya kembali. Setiap pagi, setiap hari.
Pesisir pantai sudah ramai. Langit tampak lebih cerah. Ia tidak langsung menuju tempat penimbangan ikan. Ia mencari ayahnya kesana kemari. Melompat diantara kerumunan orang yang ramainya melebihi hari-hari biasanya. Ia mencari topi ayahnya. Ah, barangkali Ayahnya melepas topinya. Tapi tidak ada.
Ia melihat perahu-perahu yang baru ditepikan. Tidak ada perahu berwarna biru dengan tulisan ‘SR’.
Akhirnya ia memberanikan diri bertanya pada nelayan lain.
“Tadi malam ada badai, kami berpisah ditengah laut,”
“Mungkin Bapamu akan datang siang hari, mungkin tersesat,”
Sera meyakinkan diri. Ayahnya pasti kembali. Ya, pasti kembali untuk menemaninya. Ia akan menunggu Ayahnya sampai siang hari, sampai ayahnya datang.
Siang hari, pesisir pantai tidak ramai. Sera masih menunggu Ayahnya. Tidak ada perahu kembali, dan tidak ada Nelayan yang mencari.
“Ra, sedang apa siang-siang begini. Panas banget,” Tio membuyarkan lamunanannya. Sera tidak tersenyum menyambutnya seperti biasa.
“Menunggu Bapa Yo,”
“Bapamu belum pulang?”
Sera menggeleng. Ia diam.Ia tidak harus bercerita apa-apa pada Tio. Raut mukanya jelas menunjukkan ia begitu resah. Takut.
Pada akhirnya Tio menemaninya hingga petang. Sampai senja menyambut Tio. Tio membawa sebuah kamera. Membuat Sera sedikit terhibur, menemukan barang baru yang sering ia lihat di buku-buku pelajaran teman-temannya.
Sebuah lensa yang mampu membuat gambaran dirinya. Ah, kalau saja Ayahnya ada sekarang disini. Seperti foto yang ia temukan dalam bingkai foto. Ia ingin mengenang dirinya dan Ayahnya dalam jepretan kamera Tio.
***
Sera menuangkan minumannya dengan pelan. Ia tahu, Ayahnya mungkin tidak akan kembali. Ia menangis semalaman, membuat rasa takutnya sedikit berkurang. Cangkirnya berdenting dengan sendok. Minuman kesukaannya, kesukaan Ayahnya juga. Tapi buatan Ayahnya lebih enak dari buatan siapapun.
Sera dikagetkan dengan kedatangan Tio ke rumahnya. Tio rasa Sera butuh teman.
“Kenapa kamu mau datang?” Pertanyaan Sera seperti kosong. Ia tidak bisa bersikap seperti biasa. Semenjak Ayahnya pergi, tanpa kabar.
“Aku sedang ada waktu luang, bukannya kita teman? Aku tidak mau kau seperti ini terus Sera,” ya, jawaban Tio hanya sesederhana itu. Sera tidak lagi bisa menganggap dirinya baik-baik saja. Nyatanya, ia membutuhkan teman untuk sekedar membantunya.
Mereka duduk-duduk diatas pasir disiang hari. Seperti biasa, Tio mengenakan topi. Tio tidak terbiasa berpanas-panas dibawah terik matahari Pantai Sulawesi.
 “Kamu pernah bertemu dengan seorang tuna netra?”
“Tuna netra?”
“Hm, orang yang tidak bisa melihat. Buta”
“… oh. Belum. Kenapa?”
“Ada yang ingin kupertemukan. Seseorang, dengan kamu.”
“Kenapa?” Sera hanya bisa bertanya itu. Sera bingung. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia tanpa Ayahnya seperti lautan kehilangan pasirnya.
“..Kamu mau ya ikut saya? Barang sehari saja, sekali saja meninggalkan pesisir,”
Tio satu-satunya temannya sekarang. Tio yang selalu menemani Sera semenjak Ayahnya tidak pernah kembali. Tio yang memadamkan kebencian Sera terhadap Ayahnya. Kali ini Tio meminta satu hal padanya. Ia harusnya tidak meolak lagi. Hitung-hitung balas budi. Membuat Tio senang.
“Oke, aku akan ikut ke Kota,” Sera menjawab ragu-ragu. Tapi kemudian tersenyum.
Tio berbisik pelan, mungkin sedang bergembira mengatakan kalimat andalannya “yess”
***
Seusai subuh, selepas Sera meyakinkan dirinya sekali lagi untuk meninggalkan pesisirnya. Melupakan kepergian Ayahnya, dan melupakan kenagan rumahnya. Ia mantap melangkahkan kaki meninggalkan Lautan yang ia cintai. Ia menyimpannya. Suara-suara ombak, butir-butir pasir dan perahunya.
Ia tidak bisa menjamin dirinya sendiri akan kembali lagi kesini. Berdamai dengan ketidakadilan yang selama ini ia rangkum dalam kesedihan yang berkepanjangan.
Sepanjang perjalanan Tio bercerita tentang dirinya. Tio akhirnya berani memberitahukan siapa Tio sebenarnya. Perihal Tio yang menginginkan dirinya berada jauh di Pantai Sulawesi. Tio yang mencaritahu sendiri keberadaan Sera, dan Tio yang selama ini kagum dengan Sera.
“Kau gadis yang kuat, gadis yang baik …”
Sera tidak banyak bicara. Baginya yang terpenting adalah mengetahui siapa seseorang yang ingin Tio pertemukan dengan dirinya.
“Tio, sebenarnya siapa yang mau kau pertemukan?” suara lantang Sera menggema dalam mobil kecil itu, mobil yang membawa mereka menuju bandara. Perjalanan akan sangat jauh, tapi sampai hanya dalam hitungan jam.
“Surprised! Kalau kuberitahu sekarang tidak jadi kejutan Ra,”
Mereka berdua sudah terlalu akrab. Bahkan Sera banyak belajar dari Tio. Lelaki blasteran yang akhirnya mewarnai hari-harinya setelah Ayahnya tak kembali.
“Ra, boleh kutanya sesuatu?”
Sera menoleh, sambil mengangguk. Memasang wajah penasaran. Siapa tahu Tio berubah pikiran dan memberitahu siapa seseorang nun jauh disana.
“Menurutmu, Mamakmu itu seperti apa?”
Sera diam. Sudah lama juga tidak pernah memikirkan Ibunya. Baginya setelah Ayahnya pergi, ia sempurna tidak punya siapa-siapa lagi.
“Aku tidak tahu, mungkin aku membenci Mamak. Dia yang meninggalkan aku kan, ah lupakan.. aku tidak pernah berharap akan bertemu Mamak,”
Tio hanya mengangguk. Tidak lagi ingin bertanya, “Oke, saya Cuma bertanya Ra,”
Rupanya Sera tertidur selama perjalanan. Setibanya ia di bandara, ia dikejutkan dengan lalu lalang orang, cuaca yang membuatnya sesak. Layaknya orang kampung ke Kota. Setelah Sera sederhana sekali, tidak terlihat seperti orang kaya atau orang yang biasa-biasa saja menurut orang-orang Kota ini.
“Tenang Ra, ini Cuma bandara. Selebihnya kita akan hirup udara sejuk lagi. Ini bukan Kota,” Tio tertawa geli melihat tingkah laku Sera.
Sampailah mereka di sebuah rumah dengan pagar unik dan papan bertuliskan kalimat bahasa Inggris. Sera masih susah membacanya. Yang dilakukannya sekarang hanya menurut pada Tio, melangkah serupa langkah kaki Tio kemana pun Tio berada.
Mereka duduk di ruang tamu. Tepatnya lobi kunjungan. Akhirnya Sera mengetahui tempat apa ini.  Semacam yayasan yang menampung orang-orang cacat berkebutuhan khusus.
“Yo, Orang yang ingin kau pertemukan ada disini? Di yayasan ini?” Sera memperhatan sekilas. Ada perasaan yang lain ketika ia masuk ke dalam ruangan ini. Ia gugup. Ia takut bertemu orang baru, di lingkungan baru. Tanpa Ayahnya.
“Ra, aku ingin bertanya sekali lagi padamu, perihal Mamakmu,”
Sera diam. Ia menerka-nerka. Tidak mungkin seorang Tio. Seseorang yang datang tiba-tiba dihidupnya, menyaksikan bagaimana kesedihannya ditinggal Ayahnya, kemudian membawanya pergi meninggalkan pantainya, ternyata ingin mempertemukannya dengan Ibunya. Ibu yang tidak pernah dikenalnya. Seorang wanita yang akhirnya harus dipanggilnya dengan sebutan ‘Mamak.
Tio membawanya pada sebuah ruangan. Ruangan yang cantik, berisi bunga-bunga. Ada hal lain didalamnya, sebuah lukisan kerang dan hamparan lautan. Ah, lagi-lagi Sera ingin kembali, berteman dengan lautan.
“Wanita diujung sana, yang sedang menghadap jendela menikmati angin. Apakah kamu mengenalnya?” Tanya Tio.
Sera melihatnya dari kejauhan. Wanita dengan rambut terurai. Rapi dan terawat dengan sebuah kursi roda, menatap kosong ke arah jendela. Tapi, Sera menggeleng. Dia tidak pernah tahu rupa ibunya, kecuali dalam foto itu. Sera mengingat-ingatnya, tapi tidak ingat betul.
Ia mendekat, ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Wanita itu buta. Ia tidak sedang memandang keluar jendela. Hanya angin  yang dirasakannya. Ketika Sera ingin beranjak, ada yang menyentuh lembut tangannya.
“Kaukah itu?” wanita itu berujar lembut.
Apakah ibunya akan berkata selembut ini? Mungkin tidak. Atau mungkin ibunya bukan orang asli pesisir Sulawesi?
Sera tiba-tiba menangis, ia tidak bisa pergi. Ia menoleh pelan, ingin bertanya siapa wanita yang menarik tangannya.
“Bau lautan, kamu pasti …”
Sera jatuh, menangis, Sera tidak tahu kenapa ia harus menangis dihadapan wanita ini. Satu-satunya orang yang berkata tentang Lautan yang ingin ditinggalkannya.
Wanita itu mengeluarkan beberapa amlop dari bajunya. Lusuh, sepertinya sudah disimpan amat sangat lama. Sera membukanya., membaca semuanya. Surat-surat yang ditujukan wanita itu untuk ayahnya. Jelas disana tertulis alamat rumahnya. Tapi tidak pernah sampai.
“Rupanya kamu sudah besar ya... Bapa datang juga?”
Sera menggeleng, “Tidak mak, Bapa tidak perlu datang…” Akhirnya ia bisa mengucap kalimat itu dengan jelas. Wanita dihadapannya benar adalah Ibunya.
Seharian itu dihabiskan Sera untuk bercerita. Mendengar banyak cerita dari wanita ini. Seorang perempuan Jawa dan lelaki Sulawesi, menikah di tanggal yang mereka tentukan sendiri namun berakibat buruk bagi orangtua lelaki Sulawesi.
Mereka dipertemukan diatas perahu setelah insiden tenggelamnya perahu yang ditumpangi Ibunya berjalan-jalan. Ibunya adalah salah satu yang ditugaskan untuk meneliti daerah Sulawesi. Waktu itu pesisir Sulawesi masih jarang didatangi orang.
Setelah perkenalan singkat, obrolan yang membuat lautan membubuhkan perasaan dihati masing-masing, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Jarak yang jauh membuat Ibunya harus memilih untuk tetap di pesisir pantai Sulawesi atau ikut pulang kerumahnya.
Pernikahan mereka berjalan lancer. Semua pihak menyetujui keputusannya. Saling menerima. Mereka hidup bahagia disebuah rumah sederhana yang Ayah Sera bangun.
Banyak waktu yang dihabiskan setelah pernikahannya untuk kembali meneliti. Ketika berita kehamilannya, semua sanak saudaranya berbahagia. Ibunya menghabiskan setiap waktu untuk meneliti disekitaran pantai dan menikmati deburan ombak ketika menunggui Ayahnya pulang.
Malam itu, tepat ketika waktu kelahiran sudah diperhitungkannya. Berkat bantuan seorang ibu di kampung itu, waktu malam sedang ada hujan lebat, dan Ayahnya sedang pergi melaut. Bayi kecil itu lahir, menangis dengan suara yang lantang.
Pagi menjelang, saat kabar terindah itu merebak di daerah Pesisir. Ayahnya berlari turun dari perahu menuju rumahnya. Bayi yang ditunggu-tunggunya, sebagai pelengkap cintanya. Sesampainya dirumah, ia mendapati seorang Ibu duduk sambil menggendong anaknya. Bayi yang lucu menyambutnya. Tapi, tak ia temukan istrinya. Ya, istrinya berpesan sedang pulang kerumahnya, ada hal yang harus diurus.
Berbulan-bulan Ayahnya menunggui istrinya pulang. Ingin menulis surat? Pada siapa harus mengirim. Pada akhirnya harapannya pupus. Sera besar bersamanya. Cukup bersamanya.
“Kenapa Mamak tidak kembali?”
“Wanita jawa dengan Lelaki Sulawesi tidak bisa bersatu Ra,”
Sejujurnya bukan itu. Bukan karena wanita Jawa dan lelaki Sulawesi. Bukan hanya itu. Bertahun-tahun pernikahan mereka ternyata punya masalah lain ditempat ini. Tempat dimana ibunya berasal. Keluarga yang akhirnya membuatnya pulang untuk selama-lamanya. Lalu, kecelakaan ketika Ibunya nekat ingin kembali, sekedar menemui anaknya. Ia jadi buta.
“Mamak tidak bisa kembali kesana, Mamak pasti tidak bisa membantu Bapa,” ya… pada hari itu, semua yang membuat Sera bertanya-tanya. Dugaan Sera tentang kebencian Ayahnya terhadap Ibunya. Sebab Ayahnya tidak pernah mencari ibunya dan kenapa Ayahnya tidak mau Sera bertanya tentang ibunya.
Sera ingat membawa selembar foto Ayah dan Ibunya. Ia ingin memberikan foto satu-satunya yang pernah Ayahnya simpan dirumahnya.
Ada sebuah kalimat kecil dibalik foto itu. Samar, tapi Sera bisa membacanya.
Lautan, dan kau Pasirnya
Sebentuk kalimat cinta sederhana. Sesederhana ia mencintai Lautan, tempatnya berasal. Sedalam cintanya pada Ayahnya. Semurni cinta Ayahnya yang samar karena kehilangan orang yang dicintainya.
“Jadi, Bapa dan Mamak tidak saling membenci..” Sera memeluk Ibunya. Ia merasakan akan kehangatan lain merengkuhnya. Menyatukan seorang ibu dan Anaknya.
Sera ingat Tio. Seharian ini ia langsung meninggalkannya.
“Kamu mencari Tio?”
Ah Ibunya yang tidak bisa melihat merasakan langkah-langkah Sera.
“Ia mungkin sedang main-main dengan anak-anak diluar sana. Jangan lupa berterimakasih padanya, tapi.. jangan berharap lebih..” Sera mengangguk sambil berbisik.
Sera ingin segera mencari Tio. Selain ia harus berterimakasih, ada banyak hal yang ingin ia tanyakan lagi pada Tio. Ia melihat senyuman Ayahnya dalam senyum Tio ketika melepaskannya bertemu Ibunya.
Sera ingin kembali secepatnya kerumahnya. Sekali ini saja. Sebelum ia benar-benar memutuskan untuk memani Ibunya disini. Biar membawakan secangkir lautan untuk Ibunya.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar