‘Bruk’
Sesuatu jatuh
tepat mengenai kepalanya. Sera merintih kesakitan. Benda yang jatuh dari atas
lemari keras sekali. Benda tersebut membuat Sera penasaran. Sebuah bingkai foto
yang retak kacanya. Mungkin karena tadi terjatuh.
Sebuah foto
usang, terpasang di pojok bingkai yang ukurannya lebih besar daripada foto
hitam-putih itu. Fotonya samar, sudah lapuk dimakan waktu. Tapi ia tahu siapa
laki-laki disana. Disampingnya ada seorang wanita dengan senyum begitu manis.
Ayahnya
menghampirinya, mendengar Sera kesakitan dan benda yang jatuh cukup keras itu.
Sera diam sambil memandangi Ayahnya yang begitu melihatnya merasa tidak ingin
bertanya.
“Ra, ayo
kemari.. dan bawa bingkai itu,”
Sera
memegangnya erat dan hati-hati. Masih ada pecahan beling yang belum dibereskannya.
“Kau sudah
dewasa rupanya, dan tidak sengaja pula foto itu jatuh,”
Sera tahu,
ketika kecintaannya pada Ayahnya semakin besar, juga sebaliknya. Pasti ada
banyak hal yang tidak bisa disembunyikan Sera pada ayahnya itu. Cepat lambat
Ayahnya tahu, begitu pula dengan kata hatinya, yang sejak sore tadi ingin
bertanya perihal Mamaknya.
“Itu Mamakmu,”
Ayahnya membuka percakapan. Mala mini diluar hujan. Jadi tidak ada jadwal
melaut malam ini.
Sera masih
bungkam. Ia tahu intonasi Ayahnya belum selesai berbicara.
“dan Mamakmu,
pergi meninggalkanmu…” Ada sorotan mata yang lain dimata Ayahnya. Tapi Sera
tidak tahu apa artinya. Sera hanya bisa mempercayai Ayahnya sepenuhnya.
Mamaknya pergi, bukan meninggal ataupun terusir. Tepatnya meninggalkan dirinya
dan Ayahnya.
Sera tidak
banyak bicara malam itu, Sera sempurna mendengarkan semua cerita Ayahnya
tentang Mamak.
“…Lalu kenapa
Ayah tidak mengejar Mamak? Memintanya pulang?” Tanya Sera.
Ayahnya diam
sejenak, “Kau itu tak bisa diam Ra, sedikit-sedikit menangis, mengompol, Bapa
tidak bisa kemana-mana,”
Sera nyengir.
Betapa merepotkannya ia dulu. Sera kemudian memeluk Ayahnya.
“Sera sayang
Bapa, bagi Sera cukup Bapa selalu ada disamping Sera, Sera sudah merasa sangat
bahagia,”
Ayahnya
menyadari, sudah bertambah dewasa putrinya ini. Pberbicara, juga pandai
mengamati.
“Bapa juga
sayang sekali sama Sera. Ada satu hal tentang Mamak dan Bapa yang belum
kuberitahu, tapi malam sudah larut. Kita tidur dulu,”
Lampu diruangan
itu padam. Sera tidur nyenyak dipelukan Ayahnya. Ia tidak lagi terganggu dengan baying-bayang
Mamaknya. Setidaknya setelah mendengar cerita Ayahnya, ia tahu, Mamaknya bukan
orang yang baik. Meninggalkannya saat
bayi dan tidak pernah mencarinya. Padahal disini, ditempatnya lahir dan
dibesarkan, disinilah tempat paling indah yang Sera tahu. Tempat paling indah
untuk mengungkapkan semuanya, pada deburan ombak dan luasnya lautan.
***
Senja menutup
hari. Sera masih memegang erat rantang nasi untuk membekali Ayahnya berlaut.
Padahal Sera tahu, Ayahnya tidak akan sempat membuka bekalnya. Mana bisa santai
ketika menangkap ikan-ikan pada saat gelap ditengah laut?
Tapi hari ini
ulangtahun Ayahnya. Sebenarnya ia tidak tahu jelas apakah yang tertanggal di
foto dalam bingkai yang rusak itu benar ulangtahun Ayahnya atau tidak.
“Hei, bisa
tolong ambilkan kertasku?” Seseorag berujar padanya. Ia menoleh dengan malas.
Seorang laki-laki berbaju rapi dan membawa map. Sera mencari-cari kertas itu.
Ya, terbawa angin sampai ada di kakinya.
“Oh,” Sera
mengambilnya kemudian memberikannya dengan malas.
“Terimakasih,”
Laki-laki itu tersenyum. Dari logatnya Sera tahu dia bukan anak pesisir.
Suaranya tidak lantang. Bahkan menjadi menjijkkan.
“Sedang
menikmati jingga?” Sekarang laki-laki itu duduk disampingnya. Duduk diatas batang
pohon kelapa yang tidak sengaja ambruk ketika badai.
“Ini namanya
senja,” Jawab Sera.
Laki-laki itu
tertawa, “Ya ya.. kutahu kamu tidak tahu senja,”
Sera menoleh.
Kesal. Siapa laki-laki ini, datang, berujar padanya, dan ia sok tahu mengira
Sera tidak tahu matahari terbenam itu disebut senja.
“Saya Tio,
kamu?” Laki-laki itu menyodorkan tangannya. Ia memperkenalkan diri dengan
sopan. Bahasa Indonesianya baik. Sera menjadi salah tingkah. Sudah lama sekali
tidak ada seseorang yang mengajaknya berkenalan. Bahkan mengobrol. Semua
teman-temannya sibuk dengan sekolahnya, sibuk bermain disekolah, ada yang pergi
meninggalkan pesisir karena menikah. Dan sekarang? Sera hanya sering
berinteraksi dengan ibu-ibu yang masih setia menunggu suaminya pulang membawa
tangkapan. Kadang membantu mengukur hasil tangkapan.
“Sera, panggil
saja Sera,” mereka berjabat tangan.
“Sedang
liburan?” Sera bertanya.
“Tidak,
sebentar lagi saya juga kembali. Cuma ingin melihat senja. Maklum, orang baru
yang dipindah kerja ke Sulawesi. Kebetulan sekali, tempat kerjaku dekat tepian
pantai begini haha..”
Sera
mengangguk. Ingin bertanya lagi. Sepertinya ia mulai tertarik dengan orang baru
ini. Orang baru yang mengajaknya berkenalan ditepian pantai.
“..Tinggal
disini sudah lama?” Tio bertanya.
“Sejak
kulahir,” Sera menjawab bangga.
Tio menunjuk
rantang nasi dipangkuan Sera.
“Ini untuk
Bapa, sebentar lagi dia akan melaut,”
Tio mengangguk,
“Anak yang baik…” Tio nyengir sambil menoleh pada Sera.
“Wah sudah
waktunya saya pulang! Semoga kita bertemu lagi besok ya Sera! Salam untuk Bapa,
dan salam untuk lautan malam hari” Tio melihat jam tangannya dan bergegas.
Sera mencoba
memahami kalimat terakhir Tio. Salam untuk lautan. Emangnya lautan bisa disalami?
Sera juga beranjak. Di kejauhan Ayahnya datang membawa jaring-jaring dan
mempersiapkan perahu.
“Pa, hari ini
tidak akan ada badai kan? Anginnya lumayan kencang,”
“Tidak apa-apa.
Semoga Cuma angina, bukan badai,”
Sera menatap
lamat-lamat wajah Ayahnya. Wajahnya sudah mulai menua, ada banyak kerutan yang
tidak bisa lagi disembunyikan. Kulit ayahnya yang legam terbakar matahari, dan
sorotan mata yang begitu lelah. Kalau saja Sera bisa menggantikan Ayahnya
melaut, ia akan melarang Ayahnya untuk bekerja.
Ayahnya
mengelus kepalanya. Putrinya sudah jadi gadis cantik yang kuat. Tingginya
hampir mengalahkannya, dan lagi Sera semakin menyayangi Ayahnya melebihi
siapapun.
“Sera akan
tunggu Bapa nanti pagi,” Sera ingin mengatakan itu. Entah kenapa. Padahal Sera
memang akan selalu menunggu Ayahnya pulang. Kapanpun dan bagaimanapun.
***
0 komentar