#Project 1

By Nayla Nuha - Juli 13, 2014



Jika aku adalah Matahari, kalian adalah bintang-bintang dalam gugusan-gugusan yang sama bersamaku. Sebab bintang akan selalu setia bersama kelompoknya.


Malam sudah larut. Ada kesunyian yang disukainya setiap malam-malam saat bulan sabit. Ia menoleh keatas, atap rumahnya yang sengaja dibuat transparan, biar bisa melihat bulan dari ruangannya. Ruangan ternyaman yang ia rancang sendiri.
Sudah selesai berpuluh-puluh halaman menyusun kata-kata yang akhirnya bisa ia ketik dengan jemarinya. Tapi masih belum selesai, ia harus membaca berulang-ulang bab demi babnya. Ia harus selalu teliti, seperti memaknai lagi dan merasakan cerita yang dikarangnya. Setidaknya sampai membuat ia tertawa berkali-kali atau merasakan sesak lalu menangis sampai mengambil beberapa lembar tisu.
‘kring..’
Handphonenya akhirnya berbunyi. Waktu yang tepat. Seseorang menelponnya tepat seperti yang ia minta. Dua jam lalu, seseorang disana menanyainya tanpa henti. Bilang ingin menelpon, bertanya dirinya sedang apa. Jelas, ia menjadi buyar untuk fokus menyelesaikan kalimat demi kalimat yang punya jadwal terbang. Ia meminta dengan sangat, dua jam kemudian ia akan selesai. Berhenti menyelami dimensi imajinya dan kembali bercerita pada dimensi kenyataan yang selalu menemaninya lewat gelombang-gelombang rindu.
“Hei, kamu menungguku dua jam tadi? Sampai detik pertama pun belum sempat menyapaku,” Ia mengusap matanya. Lelah memandangi layar laptop dua jam tanpa berkutik.
“Kan sudah kubilang, aku akan menunggumu. Jadi, sudah selesai?” seseorang disana, bicara lembut sekali padanya. Tidak marah sekalipun, bahkan masih sempat bertanya tentang pekerjaanya. Itu pasti, dan harus.
“Kalau menurutmu pasti sudah selesai, tapi menurutku …”
“Haha, dasar… selalu perfeksionis, istirahat dulu, bikin teh dulu, atau rebahan dulu,” Ah, perhatian sekali.
“Ya.. aku cukup memandangi sabit disini. Bagaimana disana? Apakah teleskop barunya bagus?”
“Disini bulannya terlihat lebih besar, ada banyak bintang-bintang juga yang tidak bisa terlihat disana..” nadanya membuat iri.
Ia mengeluh pelan, belum sekalipun ia berhasil diajak melihat langit dengan teleskop. Ya, suatu saat. Ketika seseorang yang jauh itu benar-benar pulang menemuinya.
Selanjutnya malam yang panjang itu mereka habiskan untuk membicarakan langit. Sang putri sambil menatap bulan sabit kesukaannya, dan sang pangeran sambil menatap bintang dengan teleskop barunya.

***
Hari ini rumah sedang ramai. Makanan-makanan dijejer di meja makan dengan lengkap. Dari makanan pokok sampai pencuci mulut. Bahkan ada makanan-makanan kecil yang kubuat sendiri pagi-pagi buta tadi.
Karena kedatangan tamu yang seramai ini, aku serahkan urusan kedua bintang kecil kami pada Sakti. Kalau biasanya dia bangun dan bersantai sambil membaca Koran, atau mengecek kabar astronomi lewat pengingat di handphonenya. Kali ini aku memintanya untuk berhenti satu hari saja tidak menengok perjalanan langit di pagi hari. Untuk kali ini saja. Karena langit pagi akan lebih ramai dipenuhi benda-benda luar angkasa.
Kadangkala kami berdua yang menyebutnya begitu. Ini Cuma keluarga besar yang sedang berkunjung menengok buah hati kami yang baru beberapa minggu menyapa dunia. Kami menyebutnya bintang kecil, bintang kembar. Lahir seperti perkiraan Sakti, yang bisa-bisanya menghubungkan kelahirannya dengan pergerakan bintang yang sedang ditelitinya.
Gemma, kami memanggil bintang kecil pertama dengan nama sehebat itu. Ia lebih dulu keluar dengan tangisan yang ramai. Membuat aku tidak menyadari ada bintang kecil lagi yang keluar setelahnya. Genna, kami hampir tidak menemukan nama yang mirip untuknya. Tapi, dengan kegilaan Sakti, ia  hanya mengubah abjad tengahnya saja dengan huruf setelahnya. Bintang kecilku, pangeran-pangeranku. Selamat datang dalam galaksi kami.
“Yang, mama belum datang juga?” Sakti melirik jam dinding besar diruang tamu. Sudah ada dua adiknya yang datang. Tampangnya tidak lagi carut marut tak karuan. Gemma sedang tidur setelah dimandikan, dan Genna asyik melihat langit-langit rumah yang tak luput dari ocehan dua adiknya yang gemas ingin menggendong.
Aku sendiri sudah rapi, sebentar melirik mereka berdua. Sakti memang Ayah yang baik dan teladan. Patut diacungi jempol, kecuali kalau sehabis ini ia masih ingin meminta aku menyisihkan uang untuk membeli teleskop idamannya.
Aku mengecek ponsel. Mama belum datang, padahal makanan sebanyak ini sudah siap dihidangkan. Ah, kenapa Mama selalu terlambat, bahkan ketika aku mendengar suaranya yang bahagia atas kelahiran bintang kecil kami, kadangkala seperti sekedar kata-kata bahagia yang semu.
“Karinaaa..” ada suara yang khas mengagetkanku.
“Semua sudah datang, kamu capek banget ya, masak sebanyak itu …?” tangan lembutnya mengusap rambutku. Sakti. Eh? Apa aku tertidur di kamar bintang-bintangku. Diluar kudengar sangat ramai, ada riuh tawa.
“Ayo, dandan dulu sana.. semua daritadi mencarimu,”
Aku mengangguk pelan sambil nyengir karena aku benar-benar tidak ingat kalau sampai tertidur sewaktu menengok Gemma dan Genna. Kutengok ponselku. Beberapa pesan belum terbaca. Dari mereka, yang sudah hadir. Tidak ada kontak bertuliskan Mama disini, aku pasti tadi bermimpi. Mama tidak akan datang, selamanya ia tidak bisa melihat bintang-bintang kecilnya.
***

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar