“Bun, Ayah kapan pulang? Katanya Ayah janji
mau bawakan kita mainan baru,” Aku yang tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk
keduanya teringat janji Sakti juga.
“Bun, Ayah itu ngapain aja sih kerjanya?
Genna pengen tahu,”
Yang satu selalu menangih janji Ayah mereka,
satunya lagi selalu ingin tahu apa yang dilakukan Ayahnya. Aku tersenyum, lalu
duduk bersama mereka. Menghidangkan masing-masing segelas susu dan sepiring
nasi omelette kesukaan mereka. Kebersamaan pagi yang memang kurang lengkap
tanpa Sakti.
“Ayah itu kerjaannya ngeliatin langit, Ayah
suka banget mengamati langit. Apa itu
namanya?”
Genna segera berujar, “Kaya Astronot gitu ya
Bun? Apa itu satu lagi .. Astro..”
“Astronomi!” Gemma ikut berujar bangga. Ia
ingat ayahnya pernah bilang padanya.
“Nah…
mungkin sebentar lagi akan pulang. Gem, Ayah janjinya pulang hari ini kan?
Sabar ya, Ayah pasti datang bawa mainan, kalian kemarin minta mainan apa?”
“…hum, mainan yang bisa terbang bun… syuuung
syuuung,” Soal mainan, dua bintangku ini akan selalu menjadi bersemangat, sampai
Gemma naik kursi mempraktekan gaya terbang seraya membetangkan kedua tangannya.
Gelak tawa mewarnai pagi, tapi aku tidak selalu merasa ada tawa yang lepas untuk kedua bintangnya. Aku sungguh butuh seseorang lagi di kursi duduknya. Meskipun sudah biasa, sebelum kedua bintangnya lahir, aku justru merindukan saat-saat kita berdua ikut merawat mereka di dalam kandunganku.
Gelak tawa mewarnai pagi, tapi aku tidak selalu merasa ada tawa yang lepas untuk kedua bintangnya. Aku sungguh butuh seseorang lagi di kursi duduknya. Meskipun sudah biasa, sebelum kedua bintangnya lahir, aku justru merindukan saat-saat kita berdua ikut merawat mereka di dalam kandunganku.
Gemma sudah siap dengan seragamnya, begitu
pun dengan Genna.
--------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------
Aku bergegas berlari menuju rumah sakit. Aku
mencoba menghubungi Sakti. Kemana dia? Disaat kabar buruk, membiarkanku berlari
panik sendirian. Aku menelpon siapapun yang bisa aku kabari. Coba saja masih ada
Mama. Mama pasti mengenggam erat tanganku sambil berbisik lembut, “tenang
Karin, semua akan baik-baik saja,”
Di depan pintu kamar rumah sakit sudah duduk
seorang perempuan, ah ini pasti guru Gemma dan Genna. Aku menghampirinya sambil menghela nafas panjang, wajahnya juga pucat. Sepertinya ia tidak tahu apa yang harus
dilakukannya selain meminta maaf padaku sambil menunjuk kamar ini, memberi tahu
kalau kedua anakku ada di dalam sana.
#bersambung
0 komentar