Secangkir Lautan #1

By Nayla Nuha - Juli 13, 2014



Kadangkala ada banyak hal yang tidak perlu kita tahu.
Seperti ombak lautan yang setiap saat menghapus jejak-jejak dihamparan pasir.
Jejak-jejak kecil itu membuka pagi. Gadis kecil dengan ember-ember ditangannya. Ia menanti seseorang dikejauhan sana. Ketika bendera sudah diturunkan dan orang-orang mulai berseru riang sambil membawa ember-ember dengan wajah bahagia.
Sudut pagi dengan keramaian celotehan anak-anak kecil tentang jaring-jaring yang penuh ikan-ikan. Keributan para ibu untuk segera mengangkut hasil tangkapan suaminya, atau kekhawatiran mereka ketika badai malam hari membuat para nelayan tidak mendapat tangkapan.
Gadis kecil itu, berlari layaknya anak-anak yang senang berceloteh ditemani orangtuanya. Sera, ia biasa dipanggil ayahnya dengan nama itu. Nama yang berbeda dari anak-anak pantai lainnya. Sera tidak harus bersembunyi dibalik punggung ibunya atau merengek manja minta digendong Ayahnya. Sera berlari sendiri, menghampiri dengan senyum terbaiknya. Menatap lengkap penuh syukur setiap ayahnya kembali. Menunggu giliran untuk mendapatkan hasil tangkapan.
Setiap kali Ayahnya bercerita tentang pekerjaannya, tentang malam hari ditengah lautan, tentang perahu yang belum pernah sekalipun Sera tumpangi dan tentang jaring-jaring yang menjadi sahabatnya ketika siang, Sera selalu bersemangat mendengarkan. Menjadi nelayan adalah hal yang menakjubkan bagi Sera.
“Syukurlah Sera masih bisa menyambut Bapa, dan membawakan ikan-ikan ini pulang,” Sera tersenyum lagi. Ia selalu begitu, cukup berbahagia hanya ia dan Ayahnya.
Sera tidak pernah bertanya tentang Ibunya kepada Ayahnya. Ia merasa sudah cukup mempunyai seseorang yang gagah seperti Ayahnya. Ia tidak tahu apakah ia membutuhkan seorang ibu, kalau Ayahnya saja sudah membuatnya merasa memiliki semuanya.
Pagi sudah usai, Sera masih sibuk membereskan jaring di pesisir pantai, duduk diatas perahu.
Sayangnya jarang sekali Nelayan yang membawa perahu-perahu ini disiang hari. Padahal, Sera ingin sekali merasakan naik perahu yang selalu ditumpangi Ayahnya di malam hari.
Ada tawa anak-anak dikejauhan. Mereka memakai seragam dan tas dipunggungnya, anak-anak lain ada yang hanya menenteng buku dan memakai sandal jepit. Sera tidak peduli lagi. Sera menanti ayahnya datang, membawakan minuman kesukannya dan mulai bercerita tentang lautan.
“Hoi! Sera!” salah seorang anak berseragam memanggilnya.
Sera membalas dengan lambaian tangan.
“Sampai kapan kau mau tidak mulai daftar sekolah?” Ya, pertanyaan itu lagi.
Sera menggeleng sambil tertawa, “Kalian berangkatlah, sekolah yang benar! Haha”
Sera memutuskan untuk tidak daftar Sekolah Dasar seperti teman-temannya. Ia tahu Ayahnya pasti akan banting tulang mencari ikan yang banyak setiap malam untuk biaya sekolahnya. Ia tidak mau setiap malam sendirian dan mungkin tidak ada lagi cerita sebelum tidur. Lagipula setiap siang, ditengah pekerjaan rutinnya membereskan jaring-jaring untuk menangkap ikan, Ayahnya akan menemaninya sambil bercerita tentang alam-alam sekitarnya.
“Hari ini Sera belajar apa?” Ayahnya datang  membawakan minuman kesukaannya.
“Tadi Sera lihat orang-orang berselisih tentang timbangan hasil tangkapan Pa, kalau tangkapan kita sedikit berarti kita dapat uangnya dikit ya?” 
Ayahnya tersenyum, ia mencari benda disekitar untuk membuat sesuatu. Ayahnya mengangguk dan mengajaknya membuat sesuatu. Mereka membuat neraca dengan dedaunan dan bebatuan. Sera selalu kagum dengan Ayahnya, ia bisa belajar apapun ketika Ayahnya membuat hal-hal baru.
“Pa, Sera boleh catat ini di buku tulis?”
“Tidak usah, Sera ingat-ingat saja ya, perhatikan kenapa Neraca ini seimbang dan tidak. Nah, besok-besok Sera sudah bisa menimbang sendiri hasil tangkapan kita,”
Sera meletakkan lagi buku tulisnya. Meskipun sejak kecil Sera sudah bisa menulis, sekali-kalinya ia hanya pernah menulis pesan untuk Ayahnya dihari ulang tahunnya. Ada sebuah buku yang membuatnya belajar untuk menulis. Buku baca-tulis bergambar. Sera mulai belajar membaca dan menirukan huruf-huruf. Tentunya barang yang pertama kali Sera inginkan di hari ulang tahunnya waktu itu adalah sebuah  buku dan seperangkat Alat tulis.
***
 Matahari sedang terik siang itu. Laut sedang tenang menggoyang-goyangkan perahu di tepian pantai. Angin semilir membuat rambut panjangnya berantakan. Ayahnya sedang tidak bersamanya. Ayahnya sedang menghadiri rapat di rumah kepala daerah. Mungkin akan ada pembagian perahu untuk menangkap ikan. Ia bosan. Hari ini tidak ada yang dipelajarinya bersama Ayahnya. Ayahnya bilang, ia disuruh mengulang pelajaran-pelajaran yang dipelajarinya kemarin.
Dikejauhan sekelompok anak-anak sedang bermain membuat istana pasir. Sederhana saja, istana pasir yang dibuat dari tangan-tangan kecil mereka. Tapi, sepertinya mereka bukan anak-anak asli pesisir. Penampilannya bersih, baju mereka bagus. Mungkin pendatang yang sedang berlibur.
“Hoi Sera!” Sera dikagetkan dengan suara lantang yang dikenalinya. Rupanya teman masa kecilnya. Wina. Sera hampir lupa siapa gadis yang memanggilnya, kalau saja ia tidak memperhatikan gelang ditangan Wina.
Sera tersenyum dan menggeser letak duduknya.
“Kau masih ingat aku kan?” Wina bertanya.
“Sedikit… Tadi aku hampir lupa siapa kau kalau aku tidak melihat gelang kau ini, haha” Sera nyengir, dengan gaya bicaranya yang tetap enak didengar.
“Kau tidak masuk sekolah sampai sekarang? Kita sudah mulai besar,” Rupanya, yang paling diingat anak-anak pesisir sejak dulu adalah dirinya yang tidak bersekolah.
“Ah, aku tak perlu masuk sekolah-sekolah macam kalian, aku bisa belajar sendiri,” Itulah alas an kuat yang dipegang Sera.
“Atau jangan-jangan ayahmu yang tak punya uang untuk menyekolahkanmu?” Wina berbicara sedikit berbisik. Ia takut lautan tenang menggemakan suaranya.
Sera terhenyak. Ia tidak pernah berpikir bahwa teman-temannya bisa memandangnya tidak mampu untuk bersekolah. Ia diam, lalu menggeleng.
“Aku yang meminta untuk tidak sekolah Win!” Sera meninggikan suaranya.
Wina menjauhkan duduknya, lalu memasang wajah menyeringai, “Aku bercanda Ra, tidak udah dibawa serius hehe, setidaknya sekarang anak-anak lain tahu kalau kau memang tidak mau bersekolah,”
Sera tertawa, lalu merengkuh bahu temannya itu. Ya, Sera tahu teman-temannya sebenarnya ingin mendekatinya. Tapi ia terlalu sombong untuk menerimanya. Ia takut ditanyai macam-macam.
“Di sekolah itu banyak anak-anak pindahan juga kan? Lagipula sekolah itu jauh, jauh dari suara-suara ini,”
“Iya, sekolah itu kadang memang melelahkan. Kenapa pula Bapa kepala desa tidak membangun sekolah kecil disini. Siapa tahu orang sepertimu jadi mau sekolah, haha” 
Sera tersenyum kecut. Ia sama sekali tidak mengharapkahan juga ada sekolah kecil di kampung pesisirnya. Ia tidak mau kesenangannya di siang hari terusik karena tingkah laku anak-anak luar pesisir yang juga selalu mengagumi hamparan lautan.
“Sudah kelas berapa kau Win?” akhirnya Sera membuka percakapan lagi, setidaknya membuat Wina tidak merasa bosan dan terpehatikan.
“Sudah hampir lulus SMP Ra, tapi aku tidak melanjutkannya. Makanya hari ini aku menemuimu,”
Sera terkejut, ingin tahu “Kenapa Win? Kamu ingin ikut aku juga…?”
“Tidak, dan tidak akan… Aku mau kawin Ra, dengan Petugas dekat sekolahanku,”
Sera duduk mendekat tak percaya. Matanya mendelik dan sedikit berbisik, takut kalau-kalau ombak juga mendengar.
“Kawin? Usia kita bukannya sama? Seperti apa rupanya? Apa serupa pangeran yang datang dengan perahu ke pesisir?”
Wina tertawa geli, “Haha, kamu kebanyakan mendengarkan dongeng Ra. Tidak akan pernah ada Pangeran yang datang ke pesisir kita. Ya, lelaki biasa. Hanya saja dia usianya lebih tua dari kita,”
Sera cemberut. Ia tidak bisa mengelak kalau ia memang kebanyakan mendengar dongeng Ayahnya. Karena ia begitu menyukainya. Bahkan diam-diam ia menuliskannya lagi dongeng itu ke dalam buku-buku tulis yang tidak pernah dipakainya menulis pelajaran.
“Tapi kenapa kau harus berhenti?”
“Yah, karena aku ingin berkeluarga. Menjadi seorang Mamak dan seorang istri tentunya,”
Sera terdiam. Menjadi seorang Ibu rupanya adalah impian bagi semua gadis belia. Apalagi dirinya juga beranjak dewasa. Ia tidak bisa lagi berlari-larian sambil meneriaki ombak kala hatinya marah, bosan terhadap Ayahnya. Juga menunggui Ayahnya di siang hari untuk menebak-nebak apa lagi yang Ayahnya akan pelajari bersamanya.
Sera sudah bisa belajar sendiri. Lebih sering berjalan-jalan sendiri untuk mengumpulkan pelajaran yang didapatnya. Tapi, apakah ia akan terus-menerus seperti ini. Merapikan jaring setiap siang dan menyiapkan peralatan melaut untuk Ayahnya menjelang malam. Apakah Ayahnya akan terus ada disisinya?
“Hoi, Ra! Kok jadi melamun? Kau memikirkan apa? Mamakmu?”
Sudah lama perbincangan tentang Mamak tidak pernah terdengar. Ketika Sera mendengar kata Mamak, ia tidak tahu harus membayangkan siapa. Sudah lama sekali Sera tidak lagi memikirkan sosok wanita itu. Sekarang Wina disampingnya malah bertanya tentang Mamaknya. Padahal Wina hanya tahu dari desas-desus orang-orang ketika pertama kali mengenal Sera yang hidup bersama Ayahnya saja.
 “Oh ya, aku hampir lupa, aku ingin memberikan ini sebagai kenang-kenangan. Meski kita jarang bermain bersama, tapi aku mengagumimu karena kamu sangat mencintai lautan ini,” Wina memberikannya sesuatu. Sebuah gelang, hampir sama seperti gelang ditangannya.
Sera menerimanya dengan heran, “Kenang-kenangan? Maksudmu kau akan pindah?”
“Ya, setelah aku menikah aku pindah ke Jawa. Ini petualangan baru!” Wina berseru seraya berlari menjauhinya. Rupanya sudah hampir petang. Ada semburat jingga di langit. Sera selalu suka saat-saat langit berubah warna. Sekarang tinggal desiran ombak dan dirinya.
Apakah mencintai itu rasanya seperti aku mencintai lautan ini? Lalu kenapa aku tiba-tiba ingin membayangkan mamak?

***

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar