Kadangkala ada
banyak hal yang tidak perlu kita tahu.
Seperti ombak
lautan yang setiap saat menghapus jejak-jejak dihamparan pasir.
Jejak-jejak
kecil itu membuka pagi. Gadis kecil dengan ember-ember ditangannya. Ia menanti
seseorang dikejauhan sana. Ketika bendera sudah diturunkan dan orang-orang
mulai berseru riang sambil membawa ember-ember dengan wajah bahagia.
Sudut pagi
dengan keramaian celotehan anak-anak kecil tentang jaring-jaring yang penuh
ikan-ikan. Keributan para ibu untuk segera mengangkut hasil tangkapan suaminya,
atau kekhawatiran mereka ketika badai malam hari membuat para nelayan tidak
mendapat tangkapan.
Gadis kecil itu,
berlari layaknya anak-anak yang senang berceloteh ditemani orangtuanya. Sera,
ia biasa dipanggil ayahnya dengan nama itu. Nama yang berbeda dari anak-anak
pantai lainnya. Sera tidak harus bersembunyi dibalik punggung ibunya atau
merengek manja minta digendong Ayahnya. Sera berlari sendiri, menghampiri
dengan senyum terbaiknya. Menatap lengkap penuh syukur setiap ayahnya kembali.
Menunggu giliran untuk mendapatkan hasil tangkapan.
Setiap kali
Ayahnya bercerita tentang pekerjaannya, tentang malam hari ditengah lautan,
tentang perahu yang belum pernah sekalipun Sera tumpangi dan tentang
jaring-jaring yang menjadi sahabatnya ketika siang, Sera selalu bersemangat
mendengarkan. Menjadi nelayan adalah hal yang menakjubkan bagi Sera.
“Syukurlah Sera
masih bisa menyambut Bapa, dan membawakan ikan-ikan ini pulang,” Sera tersenyum
lagi. Ia selalu begitu, cukup berbahagia hanya ia dan Ayahnya.
Sera tidak
pernah bertanya tentang Ibunya kepada Ayahnya. Ia merasa sudah cukup mempunyai
seseorang yang gagah seperti Ayahnya. Ia tidak tahu apakah ia membutuhkan
seorang ibu, kalau Ayahnya saja sudah membuatnya merasa memiliki semuanya.
Pagi sudah
usai, Sera masih sibuk membereskan jaring di pesisir pantai, duduk diatas
perahu.
Sayangnya
jarang sekali Nelayan yang membawa perahu-perahu ini disiang hari. Padahal,
Sera ingin sekali merasakan naik perahu yang selalu ditumpangi Ayahnya di malam
hari.
Ada tawa
anak-anak dikejauhan. Mereka memakai seragam dan tas dipunggungnya, anak-anak
lain ada yang hanya menenteng buku dan memakai sandal jepit. Sera tidak peduli
lagi. Sera menanti ayahnya datang, membawakan minuman kesukannya dan mulai
bercerita tentang lautan.
“Hoi! Sera!”
salah seorang anak berseragam memanggilnya.
Sera membalas
dengan lambaian tangan.
“Sampai kapan
kau mau tidak mulai daftar sekolah?” Ya, pertanyaan itu lagi.
Sera menggeleng
sambil tertawa, “Kalian berangkatlah, sekolah yang benar! Haha”
Sera memutuskan
untuk tidak daftar Sekolah Dasar seperti teman-temannya. Ia tahu Ayahnya pasti
akan banting tulang mencari ikan yang banyak setiap malam untuk biaya
sekolahnya. Ia tidak mau setiap malam sendirian dan mungkin tidak ada lagi
cerita sebelum tidur. Lagipula setiap siang, ditengah pekerjaan rutinnya
membereskan jaring-jaring untuk menangkap ikan, Ayahnya akan menemaninya sambil
bercerita tentang alam-alam sekitarnya.
“Hari ini Sera
belajar apa?” Ayahnya datang membawakan
minuman kesukaannya.
“Tadi Sera
lihat orang-orang berselisih tentang timbangan hasil tangkapan Pa, kalau
tangkapan kita sedikit berarti kita dapat uangnya dikit ya?”
Ayahnya
tersenyum, ia mencari benda disekitar untuk membuat sesuatu. Ayahnya mengangguk
dan mengajaknya membuat sesuatu. Mereka membuat neraca dengan dedaunan dan
bebatuan. Sera selalu kagum dengan Ayahnya, ia bisa belajar apapun ketika
Ayahnya membuat hal-hal baru.
“Pa, Sera boleh
catat ini di buku tulis?”
“Tidak usah,
Sera ingat-ingat saja ya, perhatikan kenapa Neraca ini seimbang dan tidak. Nah,
besok-besok Sera sudah bisa menimbang sendiri hasil tangkapan kita,”
Sera meletakkan
lagi buku tulisnya. Meskipun sejak kecil Sera sudah bisa menulis,
sekali-kalinya ia hanya pernah menulis pesan untuk Ayahnya dihari ulang
tahunnya. Ada sebuah buku yang membuatnya belajar untuk menulis. Buku
baca-tulis bergambar. Sera mulai belajar membaca dan menirukan huruf-huruf.
Tentunya barang yang pertama kali Sera inginkan di hari ulang tahunnya waktu
itu adalah sebuah buku dan seperangkat
Alat tulis.
***
Matahari sedang terik siang itu. Laut sedang
tenang menggoyang-goyangkan perahu di tepian pantai. Angin semilir membuat
rambut panjangnya berantakan. Ayahnya sedang tidak bersamanya. Ayahnya sedang
menghadiri rapat di rumah kepala daerah. Mungkin akan ada pembagian perahu
untuk menangkap ikan. Ia bosan. Hari ini tidak ada yang dipelajarinya bersama
Ayahnya. Ayahnya bilang, ia disuruh mengulang pelajaran-pelajaran yang
dipelajarinya kemarin.
Dikejauhan
sekelompok anak-anak sedang bermain membuat istana pasir. Sederhana saja,
istana pasir yang dibuat dari tangan-tangan kecil mereka. Tapi, sepertinya
mereka bukan anak-anak asli pesisir. Penampilannya bersih, baju mereka bagus.
Mungkin pendatang yang sedang berlibur.
“Hoi Sera!”
Sera dikagetkan dengan suara lantang yang dikenalinya. Rupanya teman masa
kecilnya. Wina. Sera hampir lupa siapa gadis yang memanggilnya, kalau saja ia
tidak memperhatikan gelang ditangan Wina.
Sera tersenyum
dan menggeser letak duduknya.
“Kau masih
ingat aku kan?” Wina bertanya.
“Sedikit… Tadi
aku hampir lupa siapa kau kalau aku tidak melihat gelang kau ini, haha” Sera
nyengir, dengan gaya bicaranya yang tetap enak didengar.
“Kau tidak
masuk sekolah sampai sekarang? Kita sudah mulai besar,” Rupanya, yang paling
diingat anak-anak pesisir sejak dulu adalah dirinya yang tidak bersekolah.
“Ah, aku tak
perlu masuk sekolah-sekolah macam kalian, aku bisa belajar sendiri,” Itulah
alas an kuat yang dipegang Sera.
“Atau
jangan-jangan ayahmu yang tak punya uang untuk menyekolahkanmu?” Wina berbicara
sedikit berbisik. Ia takut lautan tenang menggemakan suaranya.
Sera terhenyak.
Ia tidak pernah berpikir bahwa teman-temannya bisa memandangnya tidak mampu
untuk bersekolah. Ia diam, lalu menggeleng.
“Aku yang
meminta untuk tidak sekolah Win!” Sera meninggikan suaranya.
Wina menjauhkan
duduknya, lalu memasang wajah menyeringai, “Aku bercanda Ra, tidak udah dibawa
serius hehe, setidaknya sekarang anak-anak lain tahu kalau kau memang tidak mau
bersekolah,”
Sera tertawa,
lalu merengkuh bahu temannya itu. Ya, Sera tahu teman-temannya sebenarnya ingin
mendekatinya. Tapi ia terlalu sombong untuk menerimanya. Ia takut ditanyai
macam-macam.
“Di sekolah itu
banyak anak-anak pindahan juga kan? Lagipula sekolah itu jauh, jauh dari
suara-suara ini,”
“Iya, sekolah
itu kadang memang melelahkan. Kenapa pula Bapa kepala desa tidak membangun
sekolah kecil disini. Siapa tahu orang sepertimu jadi mau sekolah, haha”
Sera tersenyum
kecut. Ia sama sekali tidak mengharapkahan juga ada sekolah kecil di kampung
pesisirnya. Ia tidak mau kesenangannya di siang hari terusik karena tingkah
laku anak-anak luar pesisir yang juga selalu mengagumi hamparan lautan.
“Sudah kelas
berapa kau Win?” akhirnya Sera membuka percakapan lagi, setidaknya membuat Wina
tidak merasa bosan dan terpehatikan.
“Sudah hampir
lulus SMP Ra, tapi aku tidak melanjutkannya. Makanya hari ini aku menemuimu,”
Sera terkejut,
ingin tahu “Kenapa Win? Kamu ingin ikut aku juga…?”
“Tidak, dan
tidak akan… Aku mau kawin Ra, dengan Petugas dekat sekolahanku,”
Sera duduk
mendekat tak percaya. Matanya mendelik dan sedikit berbisik, takut kalau-kalau
ombak juga mendengar.
“Kawin? Usia
kita bukannya sama? Seperti apa rupanya? Apa serupa pangeran yang datang dengan
perahu ke pesisir?”
Wina tertawa
geli, “Haha, kamu kebanyakan mendengarkan dongeng Ra. Tidak akan pernah ada
Pangeran yang datang ke pesisir kita. Ya, lelaki biasa. Hanya saja dia usianya
lebih tua dari kita,”
Sera cemberut.
Ia tidak bisa mengelak kalau ia memang kebanyakan mendengar dongeng Ayahnya.
Karena ia begitu menyukainya. Bahkan diam-diam ia menuliskannya lagi dongeng
itu ke dalam buku-buku tulis yang tidak pernah dipakainya menulis pelajaran.
“Tapi kenapa
kau harus berhenti?”
“Yah, karena
aku ingin berkeluarga. Menjadi seorang Mamak dan seorang istri tentunya,”
Sera terdiam.
Menjadi seorang Ibu rupanya adalah impian bagi semua gadis belia. Apalagi
dirinya juga beranjak dewasa. Ia tidak bisa lagi berlari-larian sambil
meneriaki ombak kala hatinya marah, bosan terhadap Ayahnya. Juga menunggui
Ayahnya di siang hari untuk menebak-nebak apa lagi yang Ayahnya akan pelajari
bersamanya.
Sera sudah bisa
belajar sendiri. Lebih sering berjalan-jalan sendiri untuk mengumpulkan
pelajaran yang didapatnya. Tapi, apakah ia akan terus-menerus seperti ini.
Merapikan jaring setiap siang dan menyiapkan peralatan melaut untuk Ayahnya
menjelang malam. Apakah Ayahnya akan terus ada disisinya?
“Hoi, Ra! Kok
jadi melamun? Kau memikirkan apa? Mamakmu?”
Sudah lama
perbincangan tentang Mamak tidak pernah terdengar. Ketika Sera mendengar kata
Mamak, ia tidak tahu harus membayangkan siapa. Sudah lama sekali Sera tidak
lagi memikirkan sosok wanita itu. Sekarang Wina disampingnya malah bertanya
tentang Mamaknya. Padahal Wina hanya tahu dari desas-desus orang-orang ketika
pertama kali mengenal Sera yang hidup bersama Ayahnya saja.
“Oh ya, aku hampir lupa, aku ingin memberikan
ini sebagai kenang-kenangan. Meski kita jarang bermain bersama, tapi aku
mengagumimu karena kamu sangat mencintai lautan ini,” Wina memberikannya
sesuatu. Sebuah gelang, hampir sama seperti gelang ditangannya.
Sera
menerimanya dengan heran, “Kenang-kenangan? Maksudmu kau akan pindah?”
“Ya, setelah
aku menikah aku pindah ke Jawa. Ini petualangan baru!” Wina berseru seraya
berlari menjauhinya. Rupanya sudah hampir petang. Ada semburat jingga di
langit. Sera selalu suka saat-saat langit berubah warna. Sekarang tinggal
desiran ombak dan dirinya.
Apakah
mencintai itu rasanya seperti aku mencintai lautan ini? Lalu kenapa aku
tiba-tiba ingin membayangkan mamak?
***
0 komentar