:WS Rendra
Sering kali aku berkata ketika orang memuji milikku, bahwa sesungguhnya semua hanya titipan .....
Bahwa mobilku hanya titipan,
Bahwa rumahku hanya titipan,
Bahwa hartaku hanya titipan,
Bahwa putraku hanya titipan,
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh Nya ?
Ketika diminta kembali :
kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita...
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan nafsuku :
aku ingin lebih banyak harta,
aku ingin lebih banyak mobil,
aku ingin lebih banyak rumah,
aku ingin lebih banyak popularitas,
kutolak sakit,
kutolak kemiskinan ....
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku..
Seolah keadilan dan kasihNya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
nikmat dunia haruslah menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan kutolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku.
Gusti,
padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah pada-Mu...
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sebenarnya sama saja"
0 komentar