Belajar Kehidupan

By Nayla Nuha - Agustus 05, 2014





Ternyata 15 hari full bersama keluarga, membuat saya belajar. Belajar tentang kehidupan.

Usia yang tidak lagi muda ternyata. 21 tahun.
Ketika hari pertama lebaran, pergi bertamu silaturahmi ke rumah-rumah tetangga yang kebanyakan tetangga dari mbah dan punya nostalgia masa kecil dengan ayah dan ibu saya, bersama anak-anak kecil yang sebentar lagi pun akan beranjak dewasa, saya menyadari saya tidaklah muda lagi.

Berbeda dengan tahun lalu, kali ini saya lebih banyak diam. Tidak cengar-cengir duduk bareng anak-anak kecil yang kerjaannya ngambilin 'panganan' atau mereka yang selalu ngabisin jelly bermerk 'inaco'.

Ya, obrolan-obrolan selingan ketika berpamitan tentang 'mantu' pun terucap di berbagai rumah. juga banyak doa yang terucap dan saya selalu meng-amininya dengan sepenuh hati.

Terlepas dari itu, dua adik saya berkoar-koar setiap saat. Bahkan salah satu dari mereka membawa percakapan-percakapan yang tidak lagi sakral di rumah-rumah orang, membisikkan kepada ayah atau ibu saya dan oh men, ini menjadi memuakkan.

ya, saya memang merasa menjadi tua. Dengan tuntutan hidup yang semakin memaksa. oh dear, tak tahukah saya juga menginginkan segala mimpi-mimpi kecil itu tercapai. Tapi nyatanya, tumbuh menjadi dewasa itu tidak semudah yang pernah dibayangkan, bahkan saat-saat dewasa seperti ini malah pinginnya balik lagi ke masa-masa anak kecil /selamanya/

Kebiasaan mengamati sekitar pun tidak pernah luput. dan semoga tidak pernah hilang. Mengamati sekitar membuat diri ini perlahan-lahan ingin mengikiskan sifat 'childish' yang kadang menjadi menggila.

Hidup terus menerus bersama orang tua pun kadang membuat kita selalu 'manja' menjadi anak. Karena orang tua tetap akan menjadi orang tua, tetap mengganggap kita adalah anak mereka, anak kecil mereka -yah walaupun sebenernya enggak juga- Tapi percaya deh, seseorang, mau kita lihat begitu dewasa, anggun, cool, macho, kalau sudah bersama orangtuanya, kadang ia menjadi seperti anak ingusan yang senangnya meletakkan kepalanya dipangkuan ibundanya.

Seperti yang sering saya bilang, saya ceritakan bahkan membuat saya miris. Kehidupan keluarga saya di kampung sana, yang mana saya menyadari -akhirnya- pendidikan pertama yang paling utama jatuh pada orangtua. Banyak anak-anak yang dibiarkan 'bebas' bermain sesukanya. Berlarian bersama temannya, duduk-duduk santai menonton acara televisi anak atau sekedar bersendau gurau dengan orang-orang tua yang duduk-duduk sore sambil minum kopi.

Sejatinya, orangtua selalu menjadi contoh pertama seorang anak. Seperti yang saya lihat dalam sebuah keluarga kecil, seorang anak, ayah dan ibu yang kerja di luar negeri. Anak satu-satunya yang masih manja, walaupun pintar berbahasa indonesia, tetapi sebenarnya ia kurang mendapat perhatian dari ayahnya sendiri. Waktu shalat tiba, tapi jarang diajak shalat. Miris lihat generasi sendiri yang pada akhirnya kadangkala cuma 'baik' ketika kami datang. Yah, sedikit demi sedikit kami harus menerapkan budaya keislaman di keluarga sendiri.

Ah ya, menjadi tua kan? Memikirkan pendidikan-pendidikan keluarga.
sudah saya bilang, saya memang sedang belajar kehidupan.
Karena hidup itu terlalu keras untuk selalu diberi kemudahan seperti salah seorang di keluarga saya. Bikin iri? iya banget,
Tapi ibu saya selalu bilang, semua orang punya kadarnya masing-masing.

Jadi, sekarang gak salah dong kalau saya menuntut saya gak bisa selalu jadi bagian kalian yang begitu militan tanpa pandang bulu. Saya juga punya kadarnya. Mungkin saya mengukur kadar saya untuk keluarga saya lebih banyak ketimbang di kampus -dan saya baru menyadari itu-

Saya tetap disana, tapi saya juga ternyata sedih melihat keadaan saya yang seperti ini.

Jadi ingat perkataan seseorang yang selalu ngutip cerita dari salah satu novel favoritnya.

Yah, meskipun saya seringsekali ngilang karena sebuah 'penyakit' ini, toh, saya akan kembali, saya hanya sedang ingin memperbaiki...


#2014, sepanjang perjalanan

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar