Mahkota Bunga (2)

By Nayla Nuha - Februari 28, 2014

Kami berjabat tangan. Hangat. Dalam hatiku ada yang berbisik, selamat datang dunia baru.

"Ramaaaa" suara seorang ibu dikejauhan. Aku tidak terlalu memperdulikan, mungkin ibu itu sedang memanggil anak-anak lain. Tapi, tidak ada anak lain selain mereka berdua. Kamu  menoleh ke belakang, lalu berseru.

"Hey, jadi namamu itu Lama atau Rama?" aku membuatnya menoleh lagi padaku.

Kamu nyengir sambil berusaha bilang, "Namaku Lama.." ah, terdengar sama saja, membuat kami tertawa.

---------

Aku memicingkan pandangan pada hamparan lautan yang ombaknya beraturan. Ada kapal-kapal kecil yang hendak menepi. Mungkin ini masih terlalu pagi untuk menikmati matahari di tepi lautan. Aku tidak pernah minat untuk berenang, melebur bersama ombaknya. Lebih tenang begini, duduk diatas batu, berjalan di darmaga dan menikmati angin. Sesekali aku menggambar diatas buku sketsaku. Tapi, setiap kali menggambar yang kuingat akhir-akhir ini malah Rama.

Sudah 15 tahun rupanya. Tak terasa ya, aku mampu bertahan dengan perasaan ini 15 tahun lamanya. Harusnya diusiaku sekarang aku sudah punya kesibukan mengurusi rumah tangga atau seorang anak kecil? Ah, itu cuma mimpi yang belum terlaksana. Mungkin sehabis pulang dari perjalanan ini aku akan menyetujui pertunangan yang ditawarkan ibu. Atau malah tidak.

Hari ini ulang tahun nenek. Aku pergi kesini, kuburan nenek yang dipindah dekat lautan. Sekedar ingin mengucap selamat ulang tahun. Membawakannya bunga kesukaannya, meski tak bisa lagi kita petik di bukit indah itu. Untungnya kutemui sebuah toko bunga yang antik yang menjual bunga kesukaan nenek. Kuburan nenek berganti-ganti tahun tidak lagi pernah terawat. Apakah kamu tidak pernah mengunjunginya? Barang satu tahun sekali. Aku harus menghabiskan sedikit waktuku untuk membersihkan ini. Tidak jadi terburu-buru, bahkan akhirnya aku memutuskan untuk menikmati seharian penuh di kota ini. Barangkali aku bisa melupakanmu.

"Rama, kamu tahu kenapa nenek menyukai bunga itu?" Nenek bertanya diatas kursinya sambil meletakkan tongkatnya disamping jendela. Jendela yang sering ditatap Nenek. Menatap kami, manatap bukit yang penuh dengan bunga-bunga juga menatap matahari pagi.

Kamu menggeleng. Aku mendengar pertanyaan nenek sambil mengganti air pot.

Dulu kami sangat hati-hati memegang pot nenek. Besar, takut pecah. Tapi nenek tidak pernah melarang kami untuk menyentuhkan, hanya saja nenek mewanti-wanti harus hati-hati.

".. Karena bunga itu hadiah pertama kakek kepada nenek"


Kamu takjub, lalu menoleh kearahku, memandang bunga untuk nenek sambil tersenyum manis. Apa maksudnya? Aku malah tersipu dan cepat-cepat mengambil bunganya untuk kutaruh di pot.

Nenek tidak lagi bisa berjalan, ia sudah amat tua. Terlebih ketika Kakek pergi meninggalkannya 3 tahun silam.  Aku mendengar ceritamu setiap kali kita bertemu. Untuk itu aku selalu menyukai bunga yang kucari berdua, cerita-cerita nenek dan Kamu. 

Tapi ada satu hal yang membuat semuanya berubah.­­ Kebakaran. Kita berdua ada di tempat kejadian waktu itu. Ada sebuah rumah kecil yang menjual makanan-makanan ringan, mereka sebut itu Cafe. Pemiliknya adalah seorang pendatang dari Belanda yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dan menetap di Indonesia. Kita tahu betul siapa laki-laki Belanda itu, karena Tante Ter, nama lengkapnya Tante Terra adalah istri dari Laki-laki Belanda yang kami panggil Om Pad. Suatu siang mereka bertengkar hebat, ketika sedang memasak Barbeque di depan rumah kecil mereka. Disana ada aku dan kamu. Kita sedang menunggu makan siang bersama sebagai hadiah ulangtahun pernikahan mereka. Mereka belum punya anak ataupun sanak saudara.

Aku tidak tahu persis apa yang terjadi, yang kuingat, kamu menarik tanganku untuk bangun dari kursi kayu berwarna putih nan indah itu. Ada api yang menjalar dari kompor yang sedang dipanaskan. Aku tidak sengaja menyenggol sesuatu persis di sebelahku karena kaget. Kontan ingin aku perbaiki barang yang kusandung, kamu melarangku, menyuruhku cepat pergi. Akhirnya langkah kakimu maju semakin jauh dariku. Mungkin kamu takut, dan mungkin aku tidak menyadarinya.

Tante Ter berteriak histeris, setelah tahu yang kusenggol sampai tumpah dan mengalir jauh adalah drigen minyak tanah. Om Pad segera menarikku, membiarkan minyak itu mengalir sampai tengah-tengah bukit. Sejenak aku menarik napas, tanganku panas, udara disekitarku panas. Aku Cuma mendengar Tante Pad menangis sambil mengatakan, “I’m Sorry dear, I’m sorry” dan Om Pad yang mengumpat diri seraya berlari menggendongku.

Semua terasa begitu cepat. Aku bangun dan mendapatimu duduk disampingku. Sambil menangis dipangkuan ibumu. Ada ibuku yang berseru sambil menangis. Aku mendapati semuanya disini. Kecuali Om Pad.

Dari dalam aku mendengar ayahku setengah berbisik jengkel. Mungkin dengan Om Pad dan para bapak lainnya. Setelah itu aku tidak pernah lagi melihat Om Pad dan Tante Ter. Juga ibu melarangku untuk bermain di bukit lagi.

Setelah tahun berganti tahun, ketika kita mulai beranjak dewasa. Bukit sudah terlupakan dan Nenek sudah menyusul Kakek dengan bahagia. Kita menjadi berjarak. Tidak ada cerita bukit pun bunga, dan aku mendapati pesan dari Ibu bahwa kamu akan pergi. Tanpa pamit. Sudah, selebihnya aku menenggelamkanmu dalam ingatan-ingatan yang sedang kukunci erat. Pada saatnya aku berani membukanya lagi.

***

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar