Mahkota Bunga (End)

By Nayla Nuha - Maret 28, 2014

“Nenek, apa kabar?” Ada hembusan angin yang membuat suasana menjadi sepi.

“... Ini Key nek, apa nenek masih ingat? Key kecil yang suka mendengarkan kisah nenek sambil mengganti pot bunga setiap hari?” Aku tersenyum sambil membersihkan rerumputan. Aku mengeluarkan sesuatu dari tasku. Barang yang hendak ibuku buang dengan perasaan benci setengah mati.

“... Key mau kasih ini nek, Key taruh disini ya. Mungkin biar Rama ingat nenek, atau nenek selalu ingat Rama. Key mau menyerah nek,” Aku tidak tahu air mataku tiba-tiba mengalir. Ini gila. Aku berbicara pada nisan nenek.

“Key! Jangan lari-lari disini, hati-hati nanti jatuh!”

Aku tersontak. Segera kuusap air mataku. Apakah aku barusan mendengar seseorang memanggil namaku? Siapa? Seorang laki-laki.

Seorang anak kecil yang menghampiriku. Ia lucu, ia tersenyum manis padaku. Ia kemudian menunjuk nisan nenek pada seseorang di belakangku.

Aku menoleh perlahan.

Aku mendengar deburan ombak bergemuruh. Seperti perasaan yang terombang-ambing. Suaranya menakutkan. Aku kaku, diam. Mataku tidak bisa melihat dengan jelas, seperti ketika aku tidak pernah bisa melihat nelayan-nelayan yang sedang mengarungi laut di tengah laut. Ada banyak suara bising ditelingaku. Burung-burung berterbangan, orang-orang berbicara, ombak yang terdengar garang.

“Ra... ma...?” aku malah bertanya gagap. Aku Cuma bisa mengatakan kalimat itu. Jelas, laki-laki berjaket merah dengan bunga kesukaan Nenek ditangannya. Tidak salah lagi, mata itu, dia pasti Rama.

Aku sesak, ingin menangis. Tapi untuk apa?

Anak kecil itu dipanggil Key, ia mencairkan suasana. Lalu aku berlalu dan mempersilakannya untuk mengunjungi nisan nenek.

Setelah itu Rama menghampiriku. Ia canggung, aku pun. Tapi ada si kecil. Lucu sekali. Ia sedang senang bermain-main. Persis seperti dunia kecil kami dulu, berlarian.

“Itu anakku,” ucapnya lirih.

“Key, maaf.. aku tidak pernah mengabarimu, ataupun berkunjung lagi ke rumahmu, setelah itu kita malah bertemu dalam keadaan..”

“Sudah Rama, itu sudah lama berlalu. Hehe.. “ Aku tertawa, tapi tidak tahu untuk apa.

“.. aku pun senang mendengarmu sudah menikah dan punya anak selucu itu. Lagipula kalaupun kau main kerumahku, seperti ibuku masih trauma” aku melanjutkan.

“Bagaimana kabarmu? Sekarang kamu tinggal dimana?”

“Ah ya, baik-baik saja. Seperti yang kau lihat, aku tidak tampak sakit ataupun terlihat seperti orang frustasi kan? Aku tinggal di kota seberang. Sepertinya sama denganmu. Oh ya kamu datang berdua saja dengan Key-?” Aku menjawab sebisaku, sebisaku menguasai suasana.

“Keyla, namanya Keyla. Ibunya sedang pulang kampung, jadi kami Cuma berdua. Eh iya apakah kamu sudah menikah?” Rama tersenyum persis mengingatkanku pada bayang-bayang duniaku yang akhir-akhir ini.

“Mungkin setelah ini,” Aku menggeleng sambil tertawa. Rama Cuma mangut-mangut lalu terdiam.

“Kamu tetap Key yang seperti dulu ya, cerewet dan..” Rama tidak meneruskan percakapannya. Ia tersenyum sambil mengusap wajahnya. Kemudian berseru memanggil anaknya.

“Key, ini perkenalkan, namanya Tante Kinan. Ayo beri salam,”

Aku tersenyum, “Halo Key..”

Key malu-malu menyodorkan tangannya. Tapi akhirnya ia tersenyum sambil terbata-bata bilang, “ha-lo..”

“Aku sedang bikin pameran di darmaga timur pantai ini, mau datang?”

 “Bikin pameran? Dengan setelan macam ini?” Aku tertawa geli dan heran. Rama jelas menggunakan setelan santai seperti mau pergi tamasya. Jaket merah, topi coklat yang antik dan sepasang sandal jepit.

“Hahaha.. hanya pameran lukis dan fotografi. Untuk apa harus pakai jas dan kemeja?” Ia menjawab santai. Rama yang selalu santai dan cuek.

“Okey, mungkin aku akan mampir beberapa jam lagi. Aku harus menyelesaikan sesuatu.” Tiba-tiba buku sketsaku jatuh ketika aku berdiri. Rama melihatnya, dan halaman yang pertama yang terbuka adalah gambar Nenek, aku dan Rama. Buru-buru aku mengambilnya. Ini tidak akan lagi pernah menjadi kenyataan.

“Kamu masih terus menggambar?”

Aku tertawa, “Ya, begitulah.. Cuma iseng...”

Rama meminta buku sketsaku. Satu hal yang tidak pernah bisa kutolak adalah permintaannya, bahkan untuk sekarang ketika kami dipertemukan dengan sengaja, di ulang tahun nenek.

“Sepertinya kapan-kapan aku bisa membuat pameran lagi dengan karyamu ini. Kamu berbakat Key! Ini hebat” Aku melihat Rama yang dulu, raut wajah takjub dan senyuman itu. Aku pun menangkap pandangan lain Rama. Ia pasti habis melihat bekas luka ditangan kananku.

“Maaf Key.. “ Rama mengulang kata maaf itu. Sepertinya akan ia rapalkan dengan hitungan berkali-kali.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, semua itu sudah berlalu Ram...” Aku memberinya senyuman manis, lalu ingin segera beranjak sambil berpesan, “Lain kali rajin-rajinlah merawat nisan nenek ya Ram! Aku akan datang ke Pameranmu!”

***

Sebelum matahari terbenam, aku benar-benar mampir ke Pameran di dramaga timur. Tentunya sendirian. Sempat kucari sosok Rama, mungkin anaknya yang lucu itu juga. Harapn macam apa lagi yang sedang kutanamkan.

Langkahku berhenti sempurna pada sebuah lukisan. Takjub sekaligus menyayat hatiku lebih dalam. Hari ini, ketika aku mengunjungi tempat ini, berniat untuk meluluhkan semua tentangmu. Bahkan mengetahui ada keluarga baru yang kuidamkan merenggut mimpiku. Ada namaku tertulis kecil dipojok kanvas. Warna yang serupa, sepadan dan bahkan lebih indah dari aslinya. Gadis kecil yang tersenyum seperti memberi jawaban cinta.

Aku menoleh pada judul puisi. ‘Key; Mahkota Bunga’

Aku ingat mahkota bungaku. Kurogoh didalam tasku. Tidak mungkin terjatuh. Lalu aku tertunduk lemas, memandangi lukisan dihadapanku. Mahkota itu memang selalu jadi milikmu Rama. Aku tersenyum, aku tidak ingin menangis lagi dihadapan kenangan-kenangan.

Ada sebuah pesan yang berani mengatakan kamu memang mencintaiku. Meski aku tahu amat sangat terlambat. Mungkin kita saling mencari untuk mengatakan perasaan masing-masing.

Kuambil Handphone yang sejak tadi berdering. Bertanya kapan aku akan pulang. Aku mengetiknya pada sebuah nama.

‘Ma, bisa kita ngobrol lagi tentang pernikahan?’ hatiku mantap mengirimnya. Yah, aku pun aku menimbang-nimbang untuk mengabarimu Ram, apakah aku suatu saat akan setuju ketika kamu mengajakku membuat pameran.

Aku Bahagia, Ram

-End-

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar