Sederhana, Syukur dan Tawadhu

By Nayla Nuha - September 29, 2016

Beberapa hari terakhir sebenarnya banyak banget pelajaran yang bisa jadi bahan renungan dan lagi-lagi menyadari betapa harus banyaknya bersyukur atas apa yang diri kita dapatkan.

Benar bahwa manusia terlahir berbeda-beda, jalan hidup yang ditempuh pun berbeda-beda, hati manusia pun berbeda-beda.

Benar bahwa kita perlu menghindari dan menjauhi berbagai macam penyakit hati.

Mungkin di zaman Rasulullah dulu, ujian umatnya jauh lebih besar ketimbang zaman kita, manusia akhir zaman. Tidak bisa disamakan dan memang jauh sekali jika ingin dituntut sama.

Di kehidupan manusia macam kita, ujian yang kita tempuh tidak seberapa, tapi jelas kita seringnya sudah lemah atas ujian-ujian sepele.

Kita sering mengeluhkan tentang hal-hal kecil. Terlebih lagi ketika perkembangan yang dikembangkan manusia bernama 'teknologi' sudah menyebar ke seluruh dunia.

Budaya bercerita dengan teman-teman, menyimpan rahasia, mengabadikan momen lewat kenangan, menulis di kertas dan membaca buku seakan sirna perlahan-lahan.

Kita dicekoki banyak hal hal yang menggiurkan, sampai budaya pamer yang tidak disangka menjamur.

Mendadak semua orang ingin terkenal meskipun hanya di dunia maya.

Asal mengikuti tren yang baru beberapa detik sudah beratus penonton, sudah puas dibilang keren, asik, gaul.

Kita bebas berekspresi sampai tak tahu malu, berekspresi karena sekedar ingin diakui jadi manusia masa kini.

Tanpa sadar kita jadi semakin konsumtif. Tergoda dengan barang ini itu yang pasaran disajikan.

Berlomba-lomba untuk hal-hal yang sekedar diakui martabatnya di khalayak.

Jadilah, tanpa disadari sikap menjaga perasaan orang2 sekitar kita hilang
Kita tidak sadar kadang sudah menyebar virus iri pada diri oranglain. Bahkan mungkin ada yang berkembang menjadi dengki.

Kita tanpa sadar menjadikan perlahan-perlahan pola pikir yang menggeser hidup penuh kesederhanaan dan mungkin juga kita tidak benar-benar mengucap syukur yang khidmat kepada Sang Maha Pemberi

Hidup manusia sudah diatur Allah sesuai kadarnya. Nikmat, rezeki, ujian.
Bisa jadi sesuatu yang menurut kita biasa saja, bagi orang lain adalah satu ujian yang berat.
Bisa jadi rezeki yang kita lihat pada orang lain, kita tanpa sadar sudah menerima rezeki itu lebih dulu.

Hidup sederhana dan tawadhu (ridho) itu perlu. Bukan berarti kita tidak boleh menjadi kaya. Kita harus menjadi kaya, tapi tidak serta merta harus menunjukkan 'nih gue orang kaya'

Ada orang yang hidupnya terlihat sederhana tapi selalu terpenuhi kebutuhannya dan berbahagia.

Ada juga orang yang hidupnya terlihat tercukupi bahkan lebih tapi dia selalu merasa kekurangan.

Setiap manusia punya kadarnya masing-masing.
Rezeki yang didapat dibarengi rasa syukur, akan menjadi indah dan terasa banyak tanpa harus punya budaya pamer.

Bersikaplah sederhana, menyembunyikan tangan ketika bersedekah, selalu bersyukud apa2 yang sudah diberikan Allah sesuai kadar kita.

Sebab kelak, ketika kita lalai dalam memenuhi kehidupan, keasyikan pamer sana sini, di akhirat kita berat menahan beban harta yang kita gunakan untuk diri sendiri yang tidak terasa berlebihan, apalagi kalau ditambah kita ternyata menimbulkan penyakit hati di hati-hati orang lain.

Bukankah di akhirat sana, kita akan ditanya apa-apa yang sudah kita lakukan di dunia. Apa yang sudah kita lakukan dengan harta-harta dan nikmat yang Allah berikan pada kita?

Bersikap sederhanalah, layaknya hamba Allah yang taat, bersikap tawadhulah atas apa yang Allah berikan sekarang, dan selalu bersyukur :""")

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar