Menulis

By Nayla Nuha - Juli 04, 2015


Akhir-akhir ini, dalam sebuah organisasi kampus yang saya ikuti, sedang gencar memperbaiki kinerja di dalamnya. Alhamdulillah, ada orang-orang yang diam-diam punya potensi dan mimpi-mimpi bagus untuk memperbaiki.

Saya jadi ingat. Saya bergabung dalam dunia tulis menulis dan kejurnalistikan bukan pertama kali di kampus. Sewaktu SD saya pernah ikut ekstrakulikuler jurnalistik. Awalnya saya tidak tahu apa itu jurnalistik, tujuan saya hanya ingin menemukan orang-orang yang juga menyukai dunia tulis menulis yang menurut saya dunia itu hanya : menulis fiksi. Tapi jurnalistik tidak begitu, bahkan lebih sering mempelajari tulisan-tulisan fakta 5W+1H dan kunjungan ke salah satu stasiun tivi, yang dulu cuma saya ambil 'enak'nya aja bisa lihat studio syuting dan dunia broadcast.

Semakin kesini, saya akhirnya membuka mata. Bahwa menulis bukan hanya menulis fiksi, dunia khalayan yang menciptakan banyak latar-latar imajinasi dan tokoh-tokoh imajinasi. Saya bertekad untuk membaca buku-buku non fiksi. Seperti biografi tokoh dan buku-buku islam. Pernah sekali ketika saya duduk di bangku sekolah menengah, saya selesai membaca buku non fiksi tentang langit dan islam, lalu ibu saya menantang saya untuk menulis ulang artikel tentang Fenomena tujuh lapis langit, dan seingat saya tulisan itu di print dan dipasang entah dimana.

Bisa dihitung jari artikel yang pernah coba saya tulis, yang akhirannya kadangkala jadi sebuah rangkain kata yang lebay -karena kebanyakan kata-kata ungkapan ber-hiperbola.

Dan di Nuraniku -organisasi kampus yang bergerak dalam bidang pers, menyeret saya untuk terus konsisten dalam dunia kepenulisan. Saya tidak peduli apa yang kelak saya bisa masuki dan saya bisa bantu, saya hanya ingin menjaga tulisan-tulisan yang sudah membangun saya sampai saat ini. Saya bisa bertemu orang-orang yang juga tertarik dengan dunia kepenulisan.

Namun, pada akhirnya, ketika dunia kepenulisan saya tergeser dengan dunia seni -padahal kepenulisan dan seni itu adalah satu kesatuan-, saya diamanahkan untuk mengurusi masalah layout dan desain. Juga, mengingat kejurnalistikan berbicara tentang fakta dan realita, bukan semata dunia imajinasi yang saya senangi.

Lewat Nuraniku akhirnya saya belajar, sekali-kali melihat berita, sekali-kali membaca artikel teman-teman redaksi ketika sedang melayout. Sekali-kali terpaksa memahami cara membuat berita. Sebenarnya udah paham sih, cuma sering malas. Dulu, pernah juga punya cita-cita jadi wartawan, berburu berita, membawa secarik notes kecil, pena, alat perekam dan kamera. Sebab jurnalistik tidak semata berbicara lewat tulisan, tapi siaran berita, dan foto sekalipun.

dan hari ini, saya mulai mencoba menulis sebuah artikel. yang pada akhirnya membawa saya pada satu pemikiran, bahwa membaca itu perlu. Apalagi membuat sebuah artikel. Tidak bisa membuat artikel ketika kita sedang intens membaca buku fiksi, apalagi buku fiksi fantasy. Perlahan-lahan, meski masih sebatas niat, saya akan membuka buku-buku yang saya beli dengan semangat, buku-buku non fiksi, yang ditulis penulis-penulis hebat yang bacaannya juga hebat.

dan hari ini saya menjadi tahu betul, orang-orang yang memang tertarik dengan jurnalistik, mereka sering memburu berita, tidak hanya harus pandai mengatur dan memasukkan kata-kata dalam sebuah prosa, lebih hebat ketika mereka bisa merangkai kata-kata menjadi berita yang aktual dan jelas sehingga membuat khalayak umum mengetahuinya.

dan waktu seperti ini sebenarnya adalah waktu efektif. Waktu ketika rumah sudah sepi, tidak banyak obrolan atau teriakan dari candaan. Mungkin bagi saya, malam yang sepi diiringi dengan sisipan lagu, bisa membangun mood menulis.

Ketika saya mengerjakan project novel 2 minggu, untuk lomba, saya lebih banyak memanfaatkan waktu malam dan menyelipkan lagu di telinga untuk menulis berlembar-lembar. Kalau tidak salah novel 2 minggu itu kelar dengan 80 halaman dan menjuarai sebagai juara 2 Nasional. Sayang ya, buku yang akan diterbitkan cuma jadi wacana pemerintah. Juga waktu-waktu malam ketika saya ingin membuka lembar di depan laptop. Sekarang saya cuma sering bikin ringkasan atau sepenggal paragraf, tanpa melanjutkannya menjadi cerita.

Ya, saya suka menulis, saya suka dunia tulis-menulis, saya suka dengan penulis-penulis yang karyanya punya pesan dan kesan yang mendalam untuk sang pembaca.
Seorang teman pernah berkata bahwa menulis itu bukan sekedar ungkapan diri sendiri, tapi ungkapan diri sendiri yang ingin diketahui orang lain. Tak heran, setiap ia menulis, ia selalu ingin meminta orang lain membacanya, mengkritiknya dan bertanya apakah pesan yang hendak ia sampaikan dipahami oleh pembaca. Ia akan membacanya berulang-ulang, dan kadangkala menyalahkan bahwa tulisannya ternyata masih rumit, dan ia akan senang sekali jika ada seseorang yang dapat memahami dan mengkritik karyanya. Menurutnya, kritik dengan kalimat "bagus" itu tidak ada artinya.

Ada juga beberapa orang yang menulis untuk berbagi pengalaman, semisal ia ingin membagi pengalaman perjalanannya ke berbagai daerah, atau memberitahu sesuatu yang unik yang ia temukan. Ada juga orang-orang yang menulis tentang kehidupan pribadinya yang ia selipkan pada karya-karya sastra, untuk membuat orang lain membaca dan terhibur, atau memberikan gambaran bahwa di dunia ini ada kisah seperti cerita-ceritanya.

dan ada juga orang-orang yang menulis untuk dirinya sendiri. Beberapa orang ada yang lebih nyaman berbicara dengan tulisan -mungkin itu juga yang membuat adanya seorang penulis-. Termasuk saya. Ada beberapa orang yang menulis untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan, meluapkan kegembiraannya, juga kesedihannya. Menulis adalah salah satu media untuk menampung perasaan. Kadangkala tidak semua peristiwa bisa diungkapkan lewat cerita lisan yang mengaruskan orang lain untuk mendengarkan dengan khusyu atau malah membosankan, tidak semua orang lancar untuk mengungkapkan isi hatinya lewat lisan, maka itu, menulis adalah salah satu jalan agar seseorang tidak melulu memendam perasaannya di dalam hatinya sendirian.

Jadi, keputusan saya membuat blog ini adalah untuk menulis untuk diri saya sendiri. Karena menulis di buku diary itu sudah jadul dan melelahkan, apalagi dulumenulis diary adalah bagian dari ke-alay-an para remaja. Diary yang isinya cinta semua, atau puisi-puisi picisan bernamakan cinta daru keganguman dari seorang yang sedang kasmaran.

Kalau kamu tidak mau bercerita, tulislah. Tulis apapun yang kamu rasakan. Ini mengingatkan saya kepada anak-anak kecil, yang sejak dini sudah dibiasakan baca-tulis. Mereka yang sulit menterjemahkan apa yang harus mereka katakan dari perasaan-perasaan mereka. Seringkali ketika mereka sudah bisa menulis ataupun mencorat-coret, memahami setidaknya beberapa kosakata baru, mereka akan menulisnya. Mereka menulis surat, mereka mencoret-coret kertas, dan menulis pesan untuk ayah dan ibunya.

Mungkin menulis versi saya begitu, tulislah apa yang dirasakan.Sebab percaya atau tidak, menulis bisa sedikit 'melegakan' perasaan-perasaan yang hanya disimpan sendiri.
dan dari menulis, kita bisa memperbaiki diri. Entah pertama-tama membaca kembali tulisan, mencerna tatanan kata, melihat alur tulisan -yang kadang sering gak nyambung- dan mencipta kenangan.

Saya pribadi, sering sekali melakukan 'hal kurang kerjaan' membaca ulang tulisan-tulisan saya. Entah itu sebuah prosa berbentuk cerpen, entah puisi ataupun curhatan pribadi. Dari membaca ulang itu, saya mengingat kenangan-kenangan, mengingat memori yang kadangkala membuat saya tersenyum sendiri ataupun tiba-tiba menangis (sendiri).

Jadi, ketika tulisan-tulisan ini tidak ada yang mengunjungi, sebenarnya tidak masalah, sebab tulisan-tulisan ini tercipta untuk mengungkapkan apapun yang dirasa :" 

Terimakasih, karena saya bertemu kata-kata, karena saya jatuh cinta dengan membaca dan saya menyukai menulis :)

Selamat menjelang pagi! 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar