Sederhana (kah)?

By Nayla Nuha - Juni 07, 2014


Waktu itu hujan mengguyur sore. Ada langkah2 yang dipaksa kuat untuk bolak balik mampir yang jaraknya tidak bisa dibilang dekat

Tas ransel dipunggung yang tidak pernah lepas. Yang didalamnya ada banyak kertas2 untuk bekal; yang diberikan pada seseorang yang selalu diharapkan untuk berbincang banyak cerita.

Tapi hari itu, ada sesuatu yang lebih penting dari keterlambatan yang sudah biasa. Dan ketika orang yang ditunggu segera menghampiri orang lain. seseorang yang dikenal baik juga, yang kadang ketika melihatnya berdua ada hal-hal yang dipaksakan untuk ditepis.

Lalu di waktu yang tengah menyuarakan gelisah-gelisah ujian setelah mengisi lapar, orang itu tengah berusaha untuk membuat tenang orang lain. Mungkin untuk menenangkan rindu hatinya juga, lalu mengucap salam yang hati-hati; biar tidak ada yang kecewa dan dikecewakan

Ia tahu, ia harus menumpahkan semuanya pada seseorang. Tentunya tentang orang yang barusan mengucap salam dan menghilang diantara banyaknya kerumunan manusia.

Tapi ada hujan dalam hati yang sedang terbendung tengah menanti pelangi. Dan satu2nya cara, adalah mengembalikan dulu senyumnya. Tak peduli ada kegelisahan yang sedang disembunyikan dibawah segelas es yang cepat mencair.

Siang itu, hujan memaksanya membaur. Biar ada air mata yang jatuh bersama. Dengan banyak berkas yang akhirnya tidak berpindah tangan. Dan perasaan gelisah yang semakin tertulis berbaris-baris diatasnya.

"Ah mungkin besok ada waktu yang berbaik hati meluangkan jeda seraya berbincang memberikan setumpuk kertas yang sudah dicoreti agar mudah terbaca"
Gumammu dalam senyum yang tertahan.

"Tidak perlu bersedih, dia hanya tidak tahu,"

Lalu pandangannya melambung jauh ketika hujan menyapanya lebih deras. Rasanya tidak akan basah kuyup...

Biarlah cukup sore ini hujan bersamaiku dan menyimpan setetes harapan esok..

Dan pada malam penghujan. Dia menunggu pertanyaan, atau sekedar sapaan.
Ia kemudian ingat, ada banyak hal yang terlupa. Seperti perlahan melunturkan tulisan-tulisannya dengan air hujan sore tadi.

Ada sesak yang diam-diam masuk tanpa permisi. Membuatnya menyematkan sebaris lagu yang mengingatkannya pada sebuah ruang untuknya bercerita.

Dia tahu, dia punya sebaris harapan sederhana untuk esok. Yang ternyata malah membakarnya lebih perih lagi.

Tidak ada yang bisa dikeluhkan selain senja yang terlewat dalam sebuah lingkaran yang memaksanya untuk tertawa dan sederhana menanti sebuah pesan 'maaf' atau 'terimakasih'

Dan dalam keheningan perjalanan pulang. Ia menikmatinya, menerobos jauh memahami dirinya, semakin dalam ia menerima dirinya, mematut dirinya, ia semakin kasihan, mengutuknya dan ingin menangis sambil tertawa. Ia menjadi asing dengan dirinya. Betapa bodoh ia punya harapan yang ia sebut sederhana, betapa bodoh ia menunggu waktu berpihak padanya.

Kali ini ia benar menangis sambil duduk melihat jendela-jendela malam yang hambar, lalu ia akan bermimpi ...

#untuk seminggu yang akan terlewat, terlampaui dengan harapan yang mengikis semakin perih, 2014

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar