Desember yang Membeku

By Nayla Nuha - Desember 02, 2015

Selamat berpisah, November. Meskipun aku ingin menahanmu untuk tetap tinggal. Jika sudah waktunya memutuskan untuk pergi, ya haruslah pergi. 

Desember mungkin akan membeku. Tapi tidak membekukan waktu. Terbukti, lagi-lagi aku terlewat satu hari untuk menyampaikan tulisan ini.

Berawal Desember, sore itu hujan begitu lebat, angin, petir dan hujan sedang berkolaborasi menyampaikan sesuatu yang kadang tidak dimengerti manusia. Mereka membawa teman baru yang jatuh sangat berisik, butiran es. Ya, sore itu menjadi begitu dingin dan basah. Juga, tidak ada seorang pun yang berani keluyuran di jalanan sambil berlari-lari bahagia.

Hello Desember, aku seringnya masih ingin berbalut selimut diatas kasurku, membaca buku yang menumpuk minta dibaca,  tapi entah kenapa mataku enggan untuk mengejanya dengan cepat. Mungkin ingatanku mulai pudar sedikit-sedikit perihal kata, apalagi kata yang penuh diksi. Entahlah aku sulit menerka, dimana diksi menyembunyikan pesan, dan dimana kata-kataku bersembunyi.

Apa jangan-jangan kata-kataku mulai membeku perlahan, seiring hujan yang lebih sering bertamu di sore hari dan akhirnya aku pun mulai menyadari ketakutanku pada diksi. Aku takut tidak bisa menghabiskan waktuku untuk membaca buku-buku yang sudah kukumpulkan sejak lama sampai berdiri sebuah rak buku sederhana. Aku takut lambat laun aku membenci merangkai kata dan berhenti membaca prosa yang kutemui. Dan, bisa jadi nanti diksi cuma jadi kalimat puitis yang esok akan dilupakan.

Hello Desember, yang membawa rindu payung pada hujan, yang membuat pemandangan dari langit, tanah tengah berwarna dengan warna-warni payung. Pepohonan menjatuhkan bulir-bulir dan mulai tumbuh tunas-tunas baru dari kelembapan.

Seperti aku begini; yang tetap ingin berani mengeja hari demi hari, pada suatu masa yang nanti membuatku bernostalgia, tentang ingatan di kala hujan, waktu diksi menjadi begitu puitis dan menukar kata dengan seseorang disana.

Cerita kita bermula pada penghujan, yang bau hujannya lebih ranum dari musim semi. Dituang dalam dua cangkir yang berbeda, yang saling bersebelahan, saling membuat isyarat di gagangnya masing-masing untuk pemiliknya masing-masing. Memandang keluar jendela yang basah, lalu memikirkan masa depan yang tidak pernah kita tahu pastinya.

Hey Desember, sepertinya kamu adalah tempat penampungan terakhir, dalam 12 bulan di tahun yang aku tidak tahu harus kubagi perasaan apa yang lebih banyak kurasakan. Mungkin sebagian di tahun ini, kuhabiskan untuk memutar memori yang selayaknya tidak diputar, ya harusnya kubuang saja. Bersama hujan yang jatuh terus menerus, biar tintanya pudar sampai menjadi hancur terbawa arus hujan, lalu dikeringkan matahari yang setengah, dan terkena hujan lagi.

Semoga ada kenangan baru yang menggantikan, bermula di sini lagi,




  • Share:

You Might Also Like

0 komentar