Seribu Wajah Ayah (Resensi)

By Nayla Nuha - Oktober 12, 2015


Mencintaimu, baginya, adalah juga mencintai-nya.Jadi cinta yang ia pancarkan padamu, pada hakikatnya hanyalah pantulan dari pancaran cinta-Nya.

Hakikat cinta -yang datang darinya, barangkali memang seperti cahaya. Ia akan setia bersinar ke penjuru dunia-menyapa setiap jendela mata. Siapa saja bisa menutup jendelanya, tapi cahaya itu tak akan berhenti bersinar. Dan boleh jadi, disana, di sebuah sudut tempat orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal karena mereka hidup tidak seperti orang kebanyakan, cahay itu menerobos jendela mereka yang terbuka. Hingga sampailah cahaya itu menerpa hati, dan hati seketika menjadi penyerap sekaligus pemantul yang sempurna.

Hakikat cinta barangkali memang seperti cahaya yang terus pantul-memantul, dan tak akan pernah berhenti selama kita menjada hati kita tetap unik: menjadi penyerap sekaligus pemantul yang sempurna. 


Pertama kali baca buku ini, ketika selesai menamatkan novel Dee yang terakhir rilis. Mungkin efek pindah haluan gaya penulisan bikin gak nyaman.

Dan beberapa hari lalu, berbekal novel ini kemana-mana, akhirnya saya menyelesaikannya.

Seribu Wajah Ayah. Tentu saja menceritakan tentang kisah Ayah. yang seperti apa? Rupanya sang penulis bukan bercerita tentang banyaknya kisah Ayah dari orang berbeda, melainkan kisah satu Ayah dan seorang anak laki-laki.

Alur cerita ini tergolong unik, menceritakannya lewat foto satu persatu. Bukan alur maju tapi alur mundur (flashback) dan terbukti, alur flashback lebih banyak disukai pembaca ketimbang alur maju terus menerus yang terkesan berjalan flat *idup lo juga flat dong /eh*

Bercerita yang bermula dari sebuah gambar mengingatkan saya juga, tentang teknik mencari ide. Kenapa kita harus berpusing-ria berpikir kalau ternyata lewat media visual alamiah kita, kita bisa menemukan ide. Contohnya saja, silakan kamu cari satu gambar/foto yang menurutmu bagus, kemudian lihat dan taraaa beberapa saat otakmu tanpa sadar bercampur dengan imajinasimu dan kamu bisa menciptakan tulisan dari pikiran bawah sadarmu.

Ya, Novel ini menceritakan banyak hal tentang seorang Ayah yang luar biasa. Ayah yang mendedikasikan hidupnya sepenuhnya untuk mecintai anaknya. Ayah yang menjalani hidupnya jadi dua peran; ibu dan Ayah. Dan Ayah yang punya impian sederhana: menjadi seorang Guru, untuk negara dan tentunya untuk anaknya yang luar biasa.

Dalam novel ini, penulis juga tidak hanya menampilkan narasi dan deskripsi alur kehidupan ayah dan anak ini. Membaca novelnya, mengingatkan saya dengan dua penulis : Salim A. Fillah dan Dee, juga tak menghilangkan gaya menulis penulisnya sendiri. Rasanya kayak baca tulisan yang di mix dan jadi 'ngena' banget. Ada beberapa hal yang ia tulis sebagai teori (Seperti Dee) dan ada banyak hal pula ia menulis layaknya tulisan dengan sarat hikmah yang luar biasa (seperti Salim A. Fillah).

dan membaca buku ini, membuat saya tersadar kembali, meski ini adalah kisah seorang Ayah dan anaknya, saya menjadi begitu menyayangi Ayah saya sendiri, dan mengingat memori yang sudah dihabiskan bersama sampai saat ini. Beberapa pemikiran sang Ayah dalam novel ini mirip dengan pemikiran Ayah saya :"" Pantaslah jika membaca berlembar-lembar di awal bab, di tengah bab atau sampai akhir, saya pingin nangis (Tapi dijalan gak bisa nangis)

Seribu Wajah Ayah, menonjolkan sisi kasih sayang seorang Ayah, juga kisah-kisah yang sudah dilalui sang Anak bersama Ayah tercintanya. Juga, menggunakan bumbu ampuh : kehilangan. Secara keseluruhan, menamatkan novel ini adalah sesuatu yang menyenangkan, setelah pembaca novel pertamanya : Tuhan Maha Romantis, dan setelah membaca Seribu Wajah Ayah, saya jadi ingin membuka plastik novel ketiga : Cinta Adalah Perlawanan

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar