Berjatuhan di Oktober
By Nayla Nuha - Oktober 02, 2015
Selamat datang penghujan di Oktober.
di belahan bumi lain sedang berguguran dedaunan berwarna ceria; kuning dan jingga. Persis seperti melihat senja yang tiba-tiba kurindukan.
Benar sekali, baru tadi pagi aku membaca tulisan tentang waktu.
Ya, sudah dua kali aku menikmati nyanyian hujan di penghujung sore -yang waktu itu aku sedang lupa dengan senja-. Dingin, sejuk, begitulah. Jadi hatiku sebagian begitu menunggu Oktober, menunggu hujan, menunggu rintiknya, dan ingin sekali lagi menikmati waktu berbincang dengan hujannya.
September berakhir, dan aku ingat waktu. Aku pun ingat pernah membaca sebuah puisi dari seorang penyair muda -yang masih kukagumi- dan masih kuingat pertanyaannya tentang kiasan hiperbola waktu yang ia gambarkan dengan 'pedang', sayangnya saya tidak mudah mengingat judul dan detail puisinya.
Tersisa tiga bulan lagi, ah atau bahkan hanya 2 bulan. Di bulan-bulan menuju penghujan, yang mungkin membuatku memakai jaketku -yang sekarang aku sudah punya- juga berbekal payung yang padahal kutahu aku takkan pernah membukanya dengan sembarang meskipun hujan.
dan, mungkin seperti hujan yang kupercaya. Hujan yang punya waktu mujarab untuk dikabulkannya doa-doa. Percaya bahwa Do'a yang tiada putus akan berujung indah pada waktunya. Hujan yang sekiranya juga membawa jatuh harapan-harapan yang menjadi nyata, hujan yang menurunkan Rahmat-Nya di bumi. Hujan yang menyejukkan. Serupa daun yang berguguran di sapu hujan, yang kering menjadi basah -tapi entah ia akan terlihat seperti apa-
Hai Oktober. Izinkan aku bersungguh-sungguh lagi. Dengan do'a yang juga dipanjatkan ketika hujan menyapa bumi lagi, dengan mengumpulkan daun-daun yang jatuh yang penuh dengan Semoga. dan juga berteman baik dengan waktu, yang tinggal menghitung hari untuk moment penuh perjuangan yang tertinggal.
psst, dan bulan ini saya bertekad untuk menamatkan beberapa buku yang sejak lama saya beli di event book fair ataupun buku-buku yang telah dipilih oleh hati,
di belahan bumi lain sedang berguguran dedaunan berwarna ceria; kuning dan jingga. Persis seperti melihat senja yang tiba-tiba kurindukan.
Benar sekali, baru tadi pagi aku membaca tulisan tentang waktu.
Sayangnya, tangan waktu hanya mau memeluk dirinya sendiri dan tak kan pernah peduli padamu. Meski kau berlutut penuh harap, walau kau bersujud dalam kepasrahan tanpa daya seribu malam lamanya. Jangan berharap ia akan mendekatimu untuk kemudian menyentuh bahu lemahmu sambil berkata, "Tersenyumlah, aku akan membawamu ke masa lalu,"
Waktu, kata pepatah Arab, adalah pedang. Kalau kita tak memotong-motongnya, ia yang akan menebas habis kita. Dengan kalimat senada, Muse menyuarakan ini dalam potongan lirik lagunya : 'Don't waste your time or time will waste you.'
Waktu memang angkuh. Dan percayalah hal ini kini dan nanti : kita manusia terlalu tak berdaya untuk melawan keangkuhan waktu.
-Novel Seribu Wajah Ayah - Azhar Nurun Ala
Ya, sudah dua kali aku menikmati nyanyian hujan di penghujung sore -yang waktu itu aku sedang lupa dengan senja-. Dingin, sejuk, begitulah. Jadi hatiku sebagian begitu menunggu Oktober, menunggu hujan, menunggu rintiknya, dan ingin sekali lagi menikmati waktu berbincang dengan hujannya.
September berakhir, dan aku ingat waktu. Aku pun ingat pernah membaca sebuah puisi dari seorang penyair muda -yang masih kukagumi- dan masih kuingat pertanyaannya tentang kiasan hiperbola waktu yang ia gambarkan dengan 'pedang', sayangnya saya tidak mudah mengingat judul dan detail puisinya.
Tersisa tiga bulan lagi, ah atau bahkan hanya 2 bulan. Di bulan-bulan menuju penghujan, yang mungkin membuatku memakai jaketku -yang sekarang aku sudah punya- juga berbekal payung yang padahal kutahu aku takkan pernah membukanya dengan sembarang meskipun hujan.
dan, mungkin seperti hujan yang kupercaya. Hujan yang punya waktu mujarab untuk dikabulkannya doa-doa. Percaya bahwa Do'a yang tiada putus akan berujung indah pada waktunya. Hujan yang sekiranya juga membawa jatuh harapan-harapan yang menjadi nyata, hujan yang menurunkan Rahmat-Nya di bumi. Hujan yang menyejukkan. Serupa daun yang berguguran di sapu hujan, yang kering menjadi basah -tapi entah ia akan terlihat seperti apa-
Hai Oktober. Izinkan aku bersungguh-sungguh lagi. Dengan do'a yang juga dipanjatkan ketika hujan menyapa bumi lagi, dengan mengumpulkan daun-daun yang jatuh yang penuh dengan Semoga. dan juga berteman baik dengan waktu, yang tinggal menghitung hari untuk moment penuh perjuangan yang tertinggal.
psst, dan bulan ini saya bertekad untuk menamatkan beberapa buku yang sejak lama saya beli di event book fair ataupun buku-buku yang telah dipilih oleh hati,
0 komentar