Jika aku
adalah Matahari, kalian adalah bintang-bintang dalam gugusan-gugusan yang sama bersamaku.
Sebab bintang akan selalu setia bersama kelompoknya.
Malam sudah larut. Ada kesunyian
yang disukainya setiap malam-malam saat bulan sabit. Ia menoleh keatas, atap
rumahnya yang sengaja dibuat transparan, biar bisa melihat bulan dari
ruangannya. Ruangan ternyaman yang ia rancang sendiri.
Sudah selesai berpuluh-puluh halaman
menyusun kata-kata yang akhirnya bisa ia ketik dengan jemarinya. Tapi masih
belum selesai, ia harus membaca berulang-ulang bab demi babnya. Ia harus selalu
teliti, seperti memaknai lagi dan merasakan cerita yang dikarangnya. Setidaknya
sampai membuat ia tertawa berkali-kali atau merasakan sesak lalu menangis
sampai mengambil beberapa lembar tisu.
‘kring..’
Handphonenya akhirnya berbunyi.
Waktu yang tepat. Seseorang menelponnya tepat seperti yang ia minta. Dua jam
lalu, seseorang disana menanyainya tanpa henti. Bilang ingin menelpon, bertanya
dirinya sedang apa. Jelas, ia menjadi buyar untuk fokus menyelesaikan kalimat
demi kalimat yang punya jadwal terbang. Ia meminta dengan sangat, dua jam
kemudian ia akan selesai. Berhenti menyelami dimensi imajinya dan kembali
bercerita pada dimensi kenyataan yang selalu menemaninya lewat gelombang-gelombang
rindu.
“Hei, kamu menungguku dua jam tadi?
Sampai detik pertama pun belum sempat menyapaku,” Ia mengusap matanya. Lelah
memandangi layar laptop dua jam tanpa berkutik.
“Kan sudah kubilang, aku akan
menunggumu. Jadi, sudah selesai?” seseorang disana, bicara lembut sekali
padanya. Tidak marah sekalipun, bahkan masih sempat bertanya tentang
pekerjaanya. Itu pasti, dan harus.
“Kalau menurutmu pasti sudah
selesai, tapi menurutku …”
“Haha, dasar… selalu perfeksionis,
istirahat dulu, bikin teh dulu, atau rebahan dulu,” Ah, perhatian sekali.
“Ya.. aku cukup memandangi sabit
disini. Bagaimana disana? Apakah teleskop barunya bagus?”
“Disini bulannya terlihat lebih
besar, ada banyak bintang-bintang juga yang tidak bisa terlihat disana..”
nadanya membuat iri.
Ia mengeluh pelan, belum sekalipun
ia berhasil diajak melihat langit dengan teleskop. Ya, suatu saat. Ketika
seseorang yang jauh itu benar-benar pulang menemuinya.
Selanjutnya malam yang panjang itu
mereka habiskan untuk membicarakan langit. Sang putri sambil menatap bulan
sabit kesukaannya, dan sang pangeran sambil menatap bintang dengan teleskop
barunya.
***
Hari ini rumah sedang ramai. Makanan-makanan
dijejer di meja makan dengan lengkap. Dari makanan pokok sampai pencuci mulut.
Bahkan ada makanan-makanan kecil yang kubuat sendiri pagi-pagi buta tadi.
Karena kedatangan tamu yang seramai ini, aku
serahkan urusan kedua bintang kecil kami pada Sakti. Kalau biasanya dia bangun
dan bersantai sambil membaca Koran, atau mengecek kabar astronomi lewat pengingat
di handphonenya. Kali ini aku memintanya untuk berhenti satu hari saja tidak
menengok perjalanan langit di pagi hari. Untuk kali ini saja. Karena langit
pagi akan lebih ramai dipenuhi benda-benda luar angkasa.
Kadangkala kami berdua yang menyebutnya
begitu. Ini Cuma keluarga besar yang sedang berkunjung menengok buah hati kami
yang baru beberapa minggu menyapa dunia. Kami menyebutnya bintang kecil,
bintang kembar. Lahir seperti perkiraan Sakti, yang bisa-bisanya menghubungkan
kelahirannya dengan pergerakan bintang yang sedang ditelitinya.
Gemma, kami memanggil bintang kecil pertama
dengan nama sehebat itu. Ia lebih dulu keluar dengan tangisan yang ramai.
Membuat aku tidak menyadari ada bintang kecil lagi yang keluar setelahnya.
Genna, kami hampir tidak menemukan nama yang mirip untuknya. Tapi, dengan
kegilaan Sakti, ia hanya mengubah abjad
tengahnya saja dengan huruf setelahnya. Bintang kecilku, pangeran-pangeranku.
Selamat datang dalam galaksi kami.
“Yang, mama belum datang juga?” Sakti
melirik jam dinding besar diruang tamu. Sudah ada dua adiknya yang datang.
Tampangnya tidak lagi carut marut tak karuan. Gemma sedang tidur setelah
dimandikan, dan Genna asyik melihat langit-langit rumah yang tak luput dari
ocehan dua adiknya yang gemas ingin menggendong.
Aku sendiri sudah rapi, sebentar melirik
mereka berdua. Sakti memang Ayah yang baik dan teladan. Patut diacungi jempol,
kecuali kalau sehabis ini ia masih ingin meminta aku menyisihkan uang untuk
membeli teleskop idamannya.
Aku mengecek ponsel. Mama belum datang,
padahal makanan sebanyak ini sudah siap dihidangkan. Ah, kenapa Mama selalu
terlambat, bahkan ketika aku mendengar suaranya yang bahagia atas kelahiran
bintang kecil kami, kadangkala seperti sekedar kata-kata bahagia yang semu.
“Karinaaa..” ada suara yang khas
mengagetkanku.
“Semua sudah datang, kamu capek banget ya,
masak sebanyak itu …?” tangan lembutnya mengusap rambutku. Sakti. Eh? Apa aku
tertidur di kamar bintang-bintangku. Diluar kudengar sangat ramai, ada riuh
tawa.
“Ayo, dandan dulu sana.. semua daritadi
mencarimu,”
Aku mengangguk pelan sambil nyengir karena
aku benar-benar tidak ingat kalau sampai tertidur sewaktu menengok Gemma dan
Genna. Kutengok ponselku. Beberapa pesan belum terbaca. Dari mereka, yang sudah
hadir. Tidak ada kontak bertuliskan Mama disini, aku pasti tadi bermimpi. Mama
tidak akan datang, selamanya ia tidak bisa melihat bintang-bintang kecilnya.
***
0 komentar